Eksaminasi Kebijakan Pemerintah Tanggap Corona dan Kehadiran Negara dalam Kondisi Darurat Kesehatan

Asrullah, S. H

Oleh : Asrullah, S. H
(Ketua Departemen Humas dan Jaringan Pimpinan Pusat LIDMI dan Kepala Biro Hukum Madani Institute-CIS)

PANDEMI Covid-19 semakin eskalatif dengan jumlah kasus yang telah dirilis pada hari Senin 6 April 2020 masih memperlihatkan peningkatan. Angka kematian pasien Covid 19 juga terus bertambah.

Berdasarkan data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid 19 Perhari Senin 6 April 2020, Jumlah kasus Positif corona Indonesia mencapai 2.491 dengan penambahan kasus 218 dalam 24 Jam terakhir dengan angka kematian 209 orang.

Langkah yang telah diambil oleh pemerintah sejauh ini dalam menyikapi Pandemi Covid 19 yang semakin eskalatif ini adalah dengan mengeluarkan Himbauan Tentang Social Distancing.

Kemudian disusul dengan Maklumat Kapolri tentang Pengindahan Social Distancing dan yang terbaru adalah penerbitan Keppres No. 11 Tahun 2020 tentang Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan PP No. 21 Tahun 2020 Tentang Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang kemudian diderivasikan dengan Penerbitan Permenkes No. 9 Tahun 2020 Tentang Pedoman PSBB.

Menetapkan Keadaan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat sebagai starting Policy untuk mengambil langkah yang lebih tegas dalam menekan Penyebaran Covid 19 ditengah tengah masyarakat.

Tetapi, langkah yang diambil oleh Pemerintah pasca penetapan KKM Ubnormal Public Health Situation adalah kebijakan PSBB atau dengan kata lain Kebijakan Social Distancing Berskala Besar yang merupakan kebijakan yang telah diambil sebelumnya.

Bedanya hanya pada istrumen hukum yang digunakan oleh pemerintah. Kalau sebelumnya Social Distancing diperintahkan dalam bentuk himbauan yang sejatinya tidak mengikat, yang kedua dengan menetapkannya dengan suatu PP yang secara presisi regulasi lebih conform untuk dilaksanakan dan ditegakkan.

Kebijakan PSBB yang diambil sebagai kebijakan nasional dalam menghadapi corona secara operasional dan sosiologis memiliki tantangan yang cukup serius khususnya dalam mewujudkan tujuan utama dari PSBB yakni Pembatasan Sosial Besar Besaran dengan Harapan dapat mencegah Penyebaran Covid 19 secara lebih efektif.

Tantangan operasional dari PSBB salah satunya adalah celah dari penegakan PSBB yang belum memiliki rule standing yang conform dan memadai.

Sebab salah satu penunjang keberhasilan dari kebijakan tersebut jikalau dilengkapi dengan instrumen prosedural penegakan hukumnya sampai saat ini belum ada. Bahkan pada 3 UU yang telah ada yakni UU kesehatan, UU kekarantinaan Kesehatan dan KUHP tidak mengatur secara spesifik dan tegas.

Kebijakan eksekutorial yang diharapkan dapat langsung diterapkan oleh seluruh jajaran pemerintah dari pusat dn daerah dengan terbitnya Permenkes No. 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB, justru mengandung banyak kekurangan.

Salah satunya misalnya adalah prosedural penetapan PSBB yang birokratis dan penegakan hukum PSBB yang tidak jelas dan tidak memberikan kepastian hukum sebab Permenkes tidak dapat memuat aturan pidana.

PP sekalipun tidak dapat mengatur ketentuan pidana apalagi Permenkes, kemudian fungsi koordinasi lintas sektor dalam penanganan Covid 19 ini justru irrelevan dengan Permenkes.

Seharusnya dimuat dalam PP yang dapat memuat koordinasi lintas sektor yang ada. Kemudian posisi maklumat kapolri yang dijadikan sebagai basis penegakan hukum justru bertentangan dengan asas legalitas.

Sebab nafas dan sifat hakiki dari maklumat adalah sebatas pemberitahun dan nofitikasi bukan pemuat delik pidana.

Kebijakan ini juga terbentur dari dimensi sosiologis masyarakat, kebijakan PSBB pemerintah memberikan pembatasan yang cukup ketat terhadap ruang gerak masyarakat hanya PSBB tidak memberikan klausa kewajiban negara memenuhi kewajiban pemenuhan kebutuhan dasar untuk masyarakat sehingga hal ini mengundang sisi dilematis.

Di satu sisi memerintahkan pembatasan namun disisi yang lain pemerintah tidak memenuhi kebutuhan dasar masyarakat yang merupakan kebutuhan aksiomatik setiap hari.

Pemerintah pusat justru membebankan kepada Pemerintah daerah yang justru hal tersebut dalam kondisi KKM adalah kewajiban pemerintah pusat, dimana daerah sebagai pembantu penyesuia anggaran.

Belum lagi data based kependudukan bagi masyarakat yang menjalankan PSBB yang akan dilaksanakan oleh Pemda atau pemprov apakah telah termutakhir valid dan konsolidatif, ini juga menjadi soal kemudian.

Kebijakan yang diambil oleh pemerintah juga dalam penerapan PSBB terlalu birokratis dan cenderung “buying time process” dalam penetapan status PSBB.

Seharusnya PSBB karena telah menjadi kebijakan nasional maka daerah sudah bisa untuk mengambil langkah taktis, namun sangat birokratis sehingga setiap daerah belum bisa menerapkan status PSBB secara lebih cepat karena prosesnya yang terlalu birokrtis ditengah kondisi yang ubnormal.

Kebijakan ini juga cenderung melahirkan ketidakpastian pada masyarakat, akibatnya masyarakat menjadi korban dan yang tetap bekerja yang selalu merasa cemas dengan Virus Corona ini.

Seharusnya dikondisi yang genting ini postur kebijakan untuk segera merekondisi Corona menjadi Clearence corona adalah Karantina Wilayah atau istilah Locdown pada daerah maupun provinsi yang masuk Zona Merah.

Sebab dengan diberlakukannya karantina wilayah pada daerah daerah yang masuk zona merah, maka masyarakat akan tinggal dirumah karena kebutuhan hidup.

Mereka bahkan hewan ternaknya pun wajib dipenuhi pemerintah pusat, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 55 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantiaan Kesehatan.

Jadi, kebijakan social distancing dengan wabah yang hampir seluruh daerah sudah ada bahkan kota kota besar di Indonesia menjadi episentrum penyebaran.

Pandeminya kurang bahkan tidam efektik, dan sulit dilokalisir, harusnya langkah yang paling aman kita ambil adalah karantina wilayah dimana disertai dengan perintah kepada orang untuk tetap dirumah pemerintah akan memberikan makanan dan kebutuhan pokok lainnya, serta memiliki rule standing yang lebih memadai.

Kebijakan karantina wilayah akan memberikan kepastian hukum dan kepastian sosial kepada masyarakat karena ditanggung oleh pemerintah.

Sedangkan PSBB tidak menjamin hal tersebut, sehingga banyak pekerja khususnya sektor informal tetap keluar mencari nafkah, dan justri kontra produktif dengan semangat lokalisir penyebaran wabah dengan menekan ruang gerak masyarakat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.