Tuntutan 1 Tahun Penjara bagi Penyerang Novel, Dianggap Memalukan dan Bukti Sandiwara Hukum

Penyidik KPK Novel Baswedan (tengah) selaku korban menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus penyiraman air keras terhadap dirinya dengan terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Kamis (30/4/2020). Sidang tersebut beragenda mendengarkan keterangan saksi. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/nz

JAKARTA | Warta Rakyat – Dua terdakwa penyiram air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan, Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis, dituntut hukuman satu tahun penjara.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) menilai keduanya terbukti melakukan penganiayaan terencana yang mengakibatkan luka-luka berat.

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Rahmat Kadir Mahulette dengan pidana selama 1 tahun dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan,” kata JPU yang membacakan tuntutan Rahmat, dalam sidang yang digelar di PN Jakarta Utara, Kamis (11/6/2020) kemarin.

Rahmat dianggap terbukti melakukan penganiayaan dengan perencanaan dan mengakibatkan luka berat pada Novel karena menggunakan cairan asam sulfat atau H2SO4 untuk menyiram penyidik senior KPK itu.

Sedangkan, Rony yang juga dituntut hukuman satu tahun penjara dianggap terlibat dalam penganiayaan karena ia membantu Rahmat dalam melakukan aksinya.

Atas perbuatannya itu, Rahmat dan Rony dinilai telah melanggar Pasal 353 Ayat (2) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu.

Dikutip dari Antara, JPU menilai kedua terdakwa tidak memenuhi unsur-unsur dakwaan primer soal penganiayaan berat dari Pasal 355 Ayat (1) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Alasannya, cairan yang disiram Rahmat tidak disengaja mengenai mata Novel. Padahal, menutur JPU, cairan itu awalnya diarahkan ke badan Novel.

“Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman air keras ke Novel Baswedan tapi di luar dugaan ternyata mengenai mata Novel Baswedan yang menyebabkan mata kanan tidak berfungsi dan mata kiri hanya berfungsi 50 persen saja artinya cacat permanen sehingga unsur dakwaan primer tidak terpenuhi,” tambah jaksa.

Dalam surat tuntutan disebutkan motif kedua terdakwa adalah tidak suka atau membenci Novel Baswedan karena dianggap telah mengkhianati dan melawan institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

“Seperti kacang pada kulitnya, karena Novel ditugaskan di KPK padahal dibesarkan di institusi Polri, sok hebat, terkenal dan kenal hukum sehingga menimbulkan niat terdakwa untuk memberikan pelajaran kepada Novel dengan cara membuat Novel luka berat,” ungkap jaksa.

Dalam pertimbangannya, JPU menilai hal yang memberatkan bagi kedua terdakwa adalah mencedarai institusi Polri.

Sedangkan, hal yang meringankan adalah keduanya mengakui perbuatan, kooperatif selama persidangan, dan telah mengabdi sebagai anggota Polri.

Memalukan dan Buktikan Ada Sandiwara Hukum

Menanggapi tuntutan tersebut, Novel mengaku kecewa. Melalui akun Twitter-nya ia mengungkapkan merasa telah menjadi korban atas praktik yang disebutnya ‘lucu’

“Keterlaluan memang, sehari-hari bertugas memberantas mafia hukum dengan UU Tipikor tetapi jadi korban praktek lucu begini, lebih rendah dari orang menghina. Pak @jokowi , selamat atas prestasi aparat bapak. Mengagumkan…,” tulis Novel.

Novel juga merasa geram karena tuntutan tersebut dinilainya menunjukkan kerusakan hukum di Indonesia.

“Selain marah saya juga miris karena itu menjadi ukuran fakta sebegitu rusaknya hukum di Indonesia. Lalu bagaimana masyarakat bisa menggapai keadilan?” kata Novel.

Tim Advokasi Novel Baswedan pun menyuarakan kekecewaannya atas tuntutan satu tahun hukum penjara yang mereka nilai sebagai sesuatu yang memalukan.

“Tuntutan ini tidak hanya sangat rendah, akan tetapi juga memalukan serta tidak berpihak pada korban kejahatan, terlebih ini adalah serangan brutal kepada Penyidik KPK yang telah terlibat banyak dalam upaya pemberantasan korupsi,” kata angota Tim Advokasi Novel, Kurnia Ramadhana.

Menurut Kurnia, tuntutan tersebut juga mengonfirmasi dugaan Tim Advokasi bahwa persidangan kasus Novel ini merupakan “sandiwara hukum”.

SCROLL UNTUK LANJUT BACA

Ia pun mengungkit sejumlah kejanggalan dalam persidangan antara lain saksi-saksi penting yang tidak dihadirkan dalam persidangan serta peran penuntut umum yang terkesan membela para terdakwa.

“Persidangan kasus ini juga menunjukan hukum digunakan bukan untuk keadilan, tetapi sebaliknya hukum digunakan untuk melindungi pelaku dengan memberi hukuman “alakadarnya”,” kata Kurnia.

Tim Advokasi Novel juga menilai persidangan tersebut menutup dugaan keterlibatan auktor intelektualis.

“Alih-alih dapat mengungkapkan fakta sebenarnya, justru Penuntutan tidak bisa lepas dari kepentingan elit mafia korupsi dan kekerasan,” kata Kurnia.

Oleh karena itu, Tim Advokasi Novel menuntuk majelis hakim untuk melihat fakta sebenarnya yang menimpa Novel Baswedan.

Presiden Joko Widodo juga dituntut membentuk Tim Pencari Fakta Independen untuk membuka ‘sandiwara hukum’ tersebut.

“Komisi Kejaksaan mesti menindaklanjuti temuan ini dengan memeriksa Jaksa Penuntut Umum dalam perkara penyerangan terhadap Novel Baswedan,” kata Kurnia.

Kronologi Penyiraman Air Keras

Dalam fakta persidangan yang disebutkan JPU, pada 9 April 2017 Ronny meminjamkan sepeda motor Yamaha Mio miliknya terhadap terdakwa lain yakni Rahmat Kadir Mahulette.

Ronny dan Rahmat diketahui merupakan polisi aktif dari Satuan Gegana Korps Brimob Kelapa Dua, Depok.

Waktu itu Rahmat meminjam motor Ronny untuk mengamati jalur keluar masuk kediaman Novel yang ada di Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Keesokan harinya, Rahmat kembali menggunakan sepeda motor Ronny mengamati rute yang akan dia jadikan sebagai akses keluar masuk dari rumah

 Novel.

Lalu, di hari kejadian, Ronny diminta Rahmat yang membawa cairan asam sulfat atau H2SO4 ke kediaman Novel. Awalnya, Ronny belum mengetahui tujuan Rahmat.

Mereka kemudian berhenti di dekat Masjid Al Ihsan tempat Novel shalat subuh tepatnya di belakang sebuah mobil yang terparkir.

Di sana Ronny mengamati orang yang keluar masjid sementara Rahmat duduk di kursi keramik sambil membuka bungkusan cairan asam sulfat yamg dibawa menggunakan mug loreng hijau.

Rahmat kemudian berkata kepada Ronny bahwa ia akan memberikan pelajaran terhadap seseorang.

“Terdakwa sebagai anggota kepolisian yang bertugas memberi keamanan pada warga tidak melakukan pencegahan,” ucap JPU.

Setelah melihat Novel, Rahmat Kadir meminta Ronny berkendara dengan lambat ke arah korban.

Saat posisi mereka telah sejajar, Rahmat lantas menyiram badan Novel dengan asam sulfat tersebut. Siraman itu mengenai kepala Novel.

Setelah keduanya kabur dari lokasi, barulah Rahmat menceritakan pada Ronny bahwa orang yang ia siram dengan air keras itu adalah penyidik KPK Novel Baswedan.

Sumber : Kompas.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.