TANJUNGPINANG |WARTA RAKYAT – Dalam dunia birokrasi modern, simbol organisasi memiliki makna yang jauh melampaui fungsi estetika atau seremonial. Simbol organisai seperti pin dan Batik KORPRI merupakan representasi nilai, identitas, dan kebanggaan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam konteks organisasi publik, simbol berperan penting sebagai media pembentuk identitas kolektif, moral kerja, dan semangat pengabdian. Analisis teoretis dari berbagai perspektif organisasi menunjukkan bahwa penggunaan simbol kelembagaan memiliki pengaruh signifikan terhadap motivasi dan produktivitas pegawai.
Pertama, menurut Teori Identitas Organisasi (Albert & Whetten, 1985); simbol berfungsi sebagai manifestasi dari “siapa kita” dalam konteks organisasi. Atribut seperti pin dan Batik KORPRI menjadi penanda visual dari keanggotaan dalam komunitas ASN yang memiliki nilai-nilai luhur pengabdian, profesionalisme, dan integritas.
Bagi pegawai yang baru diangkat, penggunaan simbol ini memperkuat sense of belonging—rasa menjadi bagian dari struktur kenegaraan yang lebih besar. Proses ini penting dalam membangun komitmen afektif, yaitu keterikatan emosional terhadap organisasi. Ketika individu merasa diakui dan menjadi bagian dari identitas kolektif, mereka cenderung menunjukkan loyalitas dan tanggung jawab kerja yang lebih tinggi.
Implikasinya dengan identitas organisasi yang kuat akan menumbuhkan moral dan rasa tanggung jawab terhadap hasil kerja, karena individu bekerja bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi sebagai representasi lembaganya.
Kedua, dalam kerangka Teori Budaya Organisasi (Schein, 2010); simbol merupakan lapisan terluar dari budaya organisasi yang berfungsi mengekspresikan nilai dan norma bersama. pin dan Batik KORPRI sebagai artefak budaya ASN menggambarkan nilai pengabdian dan kebersamaan. Ketika pegawai mengenakan simbol tersebut, mereka secara tidak langsung menginternalisasi pesan budaya bahwa mereka adalah bagian dari sistem yang mengutamakan pelayanan publik dan kepentingan bangsa.
Simbol juga memperkuat kohesi sosial antarpegawai. Dalam situasi kerja lintas latar belakang dan status kepegawaian, atribut bersama membantu mengurangi jarak psikologis, menciptakan rasa setara, dan menumbuhkan solidaritas kelembagaan. Kohesi sosial ini terbukti berpengaruh terhadap kolaborasi dan produktivitas tim dalam berbagai penelitian organisasi publik.
Implikasinya simbol berfungsi sebagai cultural glue—perekat nilai yang membangun kesatuan dan semangat kerja kolektif.
Ketiga, dari sudut pandang Self-Determination Theory (Deci & Ryan, 2000); motivasi kerja yang kuat muncul ketika tiga kebutuhan psikologis dasar terpenuhi, yaitu autonomy (rasa berdaya), competence (rasa mampu), dan relatedness (rasa diterima).
Simbol seperti Batik dan pin KORPRI memiliki peran simbolik dalam memenuhi aspek relatedness dan competence. Saat pegawai mengenakan atribut resmi tersebut, mereka merasa diakui secara sosial sebagai bagian dari ASN yang berkompeten dan diamanahi tanggung jawab publik. Pengakuan ini memperkuat motivasi intrinsik dan kebanggaan profesional, yang pada gilirannya meningkatkan semangat dan produktivitas kerja.
Implikasinya pengakuan simbolik menjadi bentuk psychological reward—penghargaan nonmateri yang berdampak langsung terhadap moral dan kinerja.
Keempat, Teori Kepemimpinan Simbolik (Pfeffer, 1981); menekankan bahwa tindakan dan simbol dalam organisasi publik mengandung makna yang membentuk persepsi, nilai, dan perilaku anggota. Penggunaan simbol-simbol kelembagaan seperti pin dan Batik KORPRI dalam kegiatan resmi, pelantikan, atau peringatan nasional, dapat dimaknai sebagai bentuk ritual organisasi yang menumbuhkan kebanggaan kolektif.
Melalui simbol, pemimpin dan pegawai berbagi makna tentang komitmen terhadap pengabdian negara. Simbol menjadi sarana komunikasi nilai-nilai inti ASN seperti integritas, profesionalisme, dan loyalitas. Dengan demikian, simbol tidak hanya memperindah seremonial, tetapi juga berfungsi sebagai alat pembinaan nilai secara nonverbal dan efektif.
Implikasinya pemanfaatan simbol secara konsisten dalam budaya kerja ASN berperan sebagai media pendidikan moral dan pembentuk karakter pelayanan publik.
Kelima, Dalam Teori Institusional (DiMaggio & Powell, 1983), organisasi publik membangun legitimasi melalui norma dan praktik yang diakui secara luas. Penggunaan simbol KORPRI merupakan bentuk isomorfisme normatif, yaitu keseragaman yang menciptakan legitimasi sosial dan memperkuat citra profesional ASN di mata publik.
Dengan mengenakan simbol resmi negara, setiap pegawai menampilkan citra kesatuan birokrasi yang kredibel dan terstandar. Hal ini memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan serta meningkatkan rasa tanggung jawab pegawai untuk menjaga kehormatan simbol tersebut melalui kinerja dan perilaku profesional.
Implikasinya simbol kelembagaan berfungsi sebagai jembatan antara persepsi publik dan perilaku internal organisasi, memperkuat legitimasi sekaligus akuntabilitas moral ASN.
Jika dirangkum dari berbagai teori di atas, penggunaan simbol kelembagaan seperti pin dan Batik KORPRI berperan dalam tiga dimensi utama: (i) Moralitas – menumbuhkan rasa bangga dan tanggung jawab sebagai abdi negara; (ii) Spirit dan Motivasi – membangun energi psikologis untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik; dan (iii) Produktivitas – menciptakan iklim kerja yang solid, termotivasi, dan berorientasi pada hasil.
Simbol menjadi pengingat visual bahwa setiap pegawai memikul amanah publik yang harus dijaga dengan dedikasi. Dalam konteks ini, Batik dan pin KORPRI bukan sekadar tanda keanggotaan, tetapi juga sarana internalisasi nilai pengabdian dan profesionalisme yang menjadi inti dari moral ASN.
Secara teoretis dan empiris, simbol organisasi memiliki peran strategis dalam memperkuat moral, spirit, dan produktivitas ASN. Pin dan Batik KORPRI mencerminkan nilai, identitas, dan kehormatan pengabdian, serta menjadi sarana pembentukan budaya organisasi yang solid dan beretika.
Bagi pegawai yang baru diangkat, penggunaan simbol dapat mempercepat proses integrasi ke dalam kultur ASN dan memperkuat rasa kebersamaan dalam melayani masyarakat. Rasa bangga terhadap simbol bukanlah bentuk arogansi, melainkan manifestasi dari legitimasi sosial dan profesional. Sama halnya dengan prajurit dengan seragam militernya, mahasiswa dengan jas almamaternya, ataupun dosen dengan jubah toganya.




