TANJUNGPINANG | WARTA RAKYAT – “Di era yang bergerak cepat, kampus tidak bisa lagi menunggu 5 tahun untuk menyempurnakan kurikulum. Agile mindset memungkinkan kita bergerak dalam hitungan minggu.” — (Schuhbauer et al., 2024)
Perubahan lanskap pendidikan tinggi yang didorong oleh AI, IoT, dan pasca pandemi memaksa perguruan tinggi untuk bergerak lebih cepat dan peka terhadap kebutuhan nyata mahasiswa serta dunia kerja . Sayangnya, model konvensional dalam pengembangan kurikulum masih linier dan birokratis, dengan revisi besar biasanya hanya tiap 5–10 tahun, menjadikan kurikulum sering tidak sejalan dengan perkembangan global (Lehrblick, 2024) .
Metode pengembangan kurikulum yang saat ini umum diterapkan di perguruan tinggi masih mengandalkan proses top-down, berbasis regulasi nasional dan akreditasi yang rigid. Proses revisi kurikulum umumnya mengikuti siklus administratif yang panjang, dimulai dari pembentukan tim, perumusan dokumen, konsultasi internal terbatas, lalu persetujuan senat akademik.
Keterlibatan mahasiswa, alumni, industri, dan komunitas dalam proses ini sering bersifat simbolis atau terbatas pada tahap uji publik. Akibatnya, living curriculum—yakni kurikulum yang responsif dan adaptif terhadap dinamika perubahan pengetahuan dan kebutuhan lokal—sulit terwujud.
Lebih jauh, struktur pengambilan keputusan kurikulum yang hierarkis memperlambat adopsi pengetahuan baru ke dalam kurikulum. Tambahan lagi kurikulum yang dihasilkan cenderung bersifat dokumentatif dan berorientasi kepatuhan, ketimbang berorientasi pada pengembangan kapabilitas mahasiswa untuk menghadapi tantangan nyata. Singkatnya, Kurikulum perguruan tinggi kita ibarat kapal besar yang lambat belok—proses revisinya kaku, pengambilan keputusannya birokratis, dan sering tertinggal dari gelombang perubahan global.(Kemenristekdikti, 2017; Ditjen Dikti 2020; Moser & Renzl, 2024).
Guna mewujudkan kurikulum yang lebih adapatif, diperlukan pendekatan baru yang mampu membawa fleksibilitas, kecepatan adaptasi, dan kolaborasi lintas pemangku kepentingan ke dalam proses pengembangan kurikulum. sudah saatnya kampus mengadopsi cara kerja yang lebih gesit, partisipatif, dan berorientasi solusi, melalui integrasi Design Thinking, Scrum, Agile Governance, dan Co-Creation yang membuat kurikulum hidup, terus beradaptasi, dan relevan.
Pendekatan human-centered melalui Design Thinking membuka ruang bagi tim kampus untuk mendalami kebutuhan mahasiswa dan komunitas lokal lewat empati, prototyping, dan pengujian awal (Challenge-Based Learning Consortium, 2024). Framework Scrum, seperti EduScrum, telah terbukti meningkatkan kolaborasi, akuntabilitas, dan adaptasi cepat dalam kelas dan tim kurikulum (Schuhbauer et al., 2024; Neumann & Baumann, 2021). Agile Governance menawarkan tata kelola yang transparan dan iteratif, memungkinkan keputusan kurikulum dibuat dan dilaksanakan dalam siklus sprint (siklus waktu tetap – biasanya 1–4 minggu – di mana tim Scrum mengerjakan sejumlah pekerjaan/backlog untuk menghasilkan suatu “increment” atau hasil kerja yang bisa ditinjau dan diuji.), tanpa harus menunggu revisi tahunan (Luna et al., 2014) , dan Co Creation Kurikulum meningkatkan rasa memiliki dari mahasiswa, alumni, industri, dan masyarakat sehingga kurikulum tidak hanya relevan tapi juga berkelanjutan (Dobrigkeit et al., 2021).
Upaya ini tentu saja akan menghadapi beberapa tantangan. Pertama, kesenjangan budaya birokratis di kampus dapat menghambat penerapan agile, karena sangat bertolak belakang dengan budaya hierarkis dan lama. Kedua, kurangnya kompetensi SDM seperti peran Product Owner atau Scrum Master yang terlatih, serta pelatihan untuk teknik Design Thinking membuat inisiatif susah dipertahankan. Ketiga, sinkronisasi Sprint dengan Siklus Akademik menjadi sulit, karena semester yang padat dan sistem penilaian lama tidak mudah disesuaikan ke dalam siklus sprint 2–4 minggu. Misalnya, tim dosen ingin mengembangkan dan menguji modul baru dalam 3 sprint (masing-masing 3 minggu) dengan uji coba langsung ke mahasiswa. Namun, sistem akademik hanya mengizinkan perubahan RPS dan asesmen saat awal semester, sehingga hasil dari sprint tidak bisa segera diterapkan. Keempat, resistensi stakeholder (dosen, administrasi, dan mitra industri) terhadap budaya gagal cepat (fail fast) dan prototyping, terutama dalam konteks pendidikan tinggi (Dobrigkeit et al., 2021)
Guna mengatasi berbagai tantangan tersebut, perlu dilakukan beberapa langkah strategis. Pertama, menyelenggarakan pelatihan dan sertifikasi internal untuk peran kunci (Product Owner, Scrum Master) dan teknik Design Thinking dengan fokus pada agile problem-based learning . Kedua, penyesuaian Sprint dengan kalender akademik, menjadikan routing sprint selesai sebelum ujian akhir atau awal semester, agar proses lebih sinkron dan tidak mengganggu. Ketiga, kolaborasi dengan studi kasus lokal melalui Challenge-Based Learning untuk memudahkan pengujian prototipe kurikulum dengan relevansi tinggi dan dukungan komunitas. Keempat Fasilitasi early wins; publikasi hasil Sprint sukses kecil untuk membangun kepercayaan internal. Laporan agile governance dan tanggapan stakeholder secara terbuka dapat meningkatkan legitimasi model (Luna et al., 2014). Kelima pendekatan hybrid atau bertahap dengan pilot program di satu program studi sebelum skala kampus penuh mengurangi resistensi dan memungkinkan evaluasi dampak awal.
Integrasi Design Thinking – Scrum – Agile Governance – Co Creation menawarkan model inovatif bagi kampus berdampak: adaptif, kolaboratif, dan relevan secara lokal. Peluangnya besar—dari peningkatan kreativitas mahasiswa hingga peningkatan relevansi lulusan. Namun tantangan seperti kultur birokratis, kebutuhan pelatihan SDM, dan sinkronisasi siklus akademik tetap perlu dijawab. Jika diimplementasikan dengan baik, model ini dapat menjadikan kurikulum sebagai produk hidup yang mampu terus diperbaharui dan berdampak nyata—merespon kebutuhan zaman sekaligus membumikan kampus dalam komunitas.
Kurikulum bukan sekadar dokumen akreditasi. Ia adalah janji kampus kepada mahasiswa dan masyarakat. Dengan mengadopsi pendekatan integratif ini, kampus bisa memenuhi janji itu dengan lebih gesit, relevan, dan bernilai.