Oleh: Ary Satia Dharma, S.Sos, M.Si
(Ketua Forum Biro/Direktorat Akademik, Kemahasiswaan, Perencanaan, dan Kerjasama PTN Indonesia)
TRANSFORMASI pendidikan tinggi di Indonesia mengalami momentum penting sejak diperkenalkannya kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) oleh Kemendikbudristek pada 2020.
Program ini dirancang untuk membuka ruang bagi mahasiswa belajar di luar kampus, bekerja sama dengan dunia industri, organisasi masyarakat, dan instansi pemerintah (Kemendikbudristek, 2020).
Namun setelah empat tahun berjalan, banyak kampus justru menjadikan MBKM sebagai agenda administratif, bukan sebagai katalis perubahan paradigma pendidikan tinggi.
Dalam konteks inilah, konsep Kampus Berdampak menjadi penting dan mendesak. Kampus tidak cukup hanya menjadi pusat ilmu, tetapi juga harus mampu menghasilkan transformasi sosial, ekonomi, dan lingkungan yang nyata—khususnya bagi masyarakat lokal.
Seperti disampaikan Mokoginta (2022), kampus berdampak adalah institusi pendidikan tinggi yang mengintegrasikan tridharma dalam proses sosial untuk membentuk peradaban, bukan hanya sekadar mengejar peringkat atau publikasi.
Implementasi kampus berdampak tidak semudah membalikkan tangan. Masih ada gap serius antara semangat normatif dan realitas implementasi di lapangan. Pertama, sebagian besar perguruan tinggi masih terjebak pada output akademik seperti jumlah publikasi dan akreditasi, bukan pada outcome sosial seperti perubahan kesejahteraan masyarakat dampingan.
Kedua, aktivitas tridharma sering berjalan sendiri-sendiri tanpa integrasi strategis. Penelitian tidak terkait dengan pengabdian, pengajaran terlepas dari realitas sosial komunitas. Fragmentasi ini diperburuk oleh struktur birokrasi kampus yang hierarkis dan kurang adaptif terhadap kolaborasi lintas sektor (Mokoginta, 2022).
Ketiga, dosen dan mahasiswa banyak yang belum memiliki kapasitas pendekatan partisipatif, keberlanjutan, dan inovasi sosial. Program pengabdian yang menyentuh komunitas pesisir belum sepenuhnya terintegrasi dalam sistem pembelajaran kontekstual. Lebih lanjut kurangnya pelatihan tentang design thinking, community development, dan impact evaluation menjadi tantangan tersendiri.
Keempat, faktor struktural seperti terbatasnya pendanaan, lemahnya dukungan kebijakan jangka panjang, serta tidak adanya insentif kinerja berbasis dampak juga memperlambat perubahan. Sebagian besar hibah riset dan pengabdian masih bersifat tahunan dan berorientasi pada laporan cepat, bukan perubahan berkelanjutan (Kemenko PMK, 2023).
Untuk menjawab akar masalah ini, dibutuhkan pendekatan transformasional di dalam kampus. Pertama, perguruan tinggi perlu membentuk unit khusus seperti Impact Office yang mengkoordinasikan seluruh kegiatan berbasis dampak, mulai dari KKN Tematik, riset transdisiplin, hingga program pengabdian masyarakat terpadu.
Kedua, sistem penilaian kinerja dosen (BKD/LKD) perlu direformasi agar memberi penghargaan pada kontribusi sosial yang terukur. Penerbitan jurnal harus dihargai setara dengan transformasi komunitas, inovasi lokal, atau pemulihan ekosistem laut yang dilakukan oleh sivitas akademika.
Ketiga, mahasiswa perlu dilibatkan secara aktif dalam proyek-proyek berbasis komunitas sejak semester awal. Pembelajaran tidak hanya di ruang kelas, tetapi juga di desa, di pulau-pulau kecil, dan di tengah tantangan nyata masyarakat.
Keempat, kerja sama lintas sektor menjadi syarat mutlak. Kampus harus merangkul pemerintah daerah, NGO, dunia usaha, dan komunitas lokal untuk membangun program berdampak yang bersifat kolaboratif dan berkelanjutan (Mokoginta, 2022).
Kampus berdampak tidak bisa lahir dari inisiatif internal semata. Negara perlu hadir dengan kebijakan afirmatif. Pemerintah perlu menyediakan skema pendanaan multiyear berbasis dampak, bukan hanya berbasis output laporan. Kemendiktisaintek bersama Bappenas dapat mengembangkan Indikator Dampak Nyata (IDN) yang mengukur kontribusi kampus terhadap SDGs, pengurangan kemiskinan, ketahanan pangan lokal, dan konservasi lingkungan, sebagai pelengkap dari IKU perguruan tinggi. Lebih jauh, pengakuan formal terhadap kontribusi sosial kampus perlu diperluas dalam proses akreditasi maupun pemeringkatan nasional.
Kampus Berdampak adalah arah masa depan pendidikan tinggi yang berpihak pada realitas sosial dan kelestarian lingkungan. Ia bukan sekadar pelengkap dari MBKM, tetapi ruh utama dari cita-cita negara: mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum.