TANJUNGPINANG | WARTA RAKYAT – Dalam setiap ruang kelas di Indonesia, anak-anak memulai perjalanannya menuju masa depan dengan beban harapan yang besar. Sayangnya, sebagian besar harapan itu bertumpu pada nilai akademik: angka-angka dalam rapor, peringkat di kelas, dan skor ujian. Padahal, pendidikan yang sejati seharusnya membentuk manusia seutuhnya—bukan hanya otaknya, tetapi juga hati dan perilakunya. Di tengah urgensi perubahan zaman, sistem pendidikan dasar kita harus mulai mengedepankan pengembangan karakter sebagai fondasi utama, dengan menanamkan nilai-nilai seperti disiplin, jiwa korsa, empati, minat bakat, serta kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.
Namun tantangan besar muncul dari lingkungan terdekat anak: orangtua. Banyak dari mereka masih menjadikan pencapaian akademik sebagai tolok ukur utama keberhasilan anak, sementara prestasi dalam hal karakter sering kali dianggap sekunder. Kontradiksi inilah yang harus kita luruskan bersama, karena masa depan bangsa tak hanya ditentukan oleh seberapa cerdas anak-anak kita menghitung, tetapi juga seberapa dalam mereka memahami, merasakan, dan bertindak sebagai manusia yang utuh.
Karakter sebagai Akar dari Pendidikan
Pendidikan karakter bukan sekadar pelengkap, tetapi inti dari proses belajar. Disiplin mengajarkan anak menghargai waktu dan tanggung jawab. Jiwa korsa membentuk kemampuan bekerja dalam tim dan menjunjung nilai kebersamaan. Minat dan bakat memberi arah yang sesuai dengan potensi personal. Empati menumbuhkan kepedulian sosial. Sementara kecintaan terhadap ilmu pengetahuan membuat anak belajar bukan karena paksaan, tapi karena hasrat yang tulus.
Bayangkan seorang anak yang tidak menonjol secara akademik, tetapi memiliki empati yang tinggi, mampu menyelesaikan konflik dengan bijak, dan konsisten dalam tugasnya. Di dunia nyata, anak seperti inilah yang lebih berpeluang sukses secara sosial dan profesional, dibanding mereka yang hanya unggul dalam hafalan atau ujian.
Psikolog pendidikan dari Universitas Indonesia, Dr. Ratih Ibrahim, menyatakan bahwa “Karakter adalah hasil akumulasi nilai dan kebiasaan yang dibentuk sejak masa kanak-kanak. Bila kita hanya fokus pada kecerdasan kognitif, kita menciptakan anak yang pandai berpikir, tapi belum tentu siap berelasi atau bertahan dalam tekanan sosial.”
Realitas di Lapangan: Orangtua Masih Menjadi Tantangan
Berdasarkan survei Litbang Kompas (2023), sebanyak 76% orangtua di Indonesia menyatakan bahwa keberhasilan pendidikan anak dilihat dari “nilai akademik yang tinggi dan lulus sekolah favorit”. Hanya 18% yang menyebutkan “karakter dan perilaku baik” sebagai indikator utama. Angka ini menunjukkan kesenjangan antara semangat reformasi pendidikan dan realitas pandangan masyarakat.
Fenomena ini tercermin di banyak sekolah dasar yang mencoba menerapkan pendekatan pendidikan karakter. Ketika waktu belajar digunakan untuk kegiatan eksploratif, projek sosial, atau penguatan nilai-nilai seperti toleransi dan gotong royong, banyak orangtua yang justru mempertanyakan efektivitasnya dan menuntut lebih banyak “belajar mata pelajaran pokok”.
Sekolah yang Menumbuhkan Karakter: Contoh Nyata
Beberapa sekolah di Indonesia telah menjadi pelopor pendidikan karakter. Salah satu contohnya adalah Sekolah Alam Indonesia yang berada di wilayah Ciganjur, Jakarta Selatan. Sekolah ini menekankan pembelajaran berbasis alam, kolaborasi, dan pemahaman nilai kehidupan.
Alih-alih duduk di kelas sepanjang hari, anak-anak terlibat dalam kegiatan bercocok tanam, merawat hewan, memasak bersama, dan mendiskusikan isu-isu sosial. Evaluasi tidak hanya melalui ujian tertulis, tetapi juga dari observasi perilaku, kontribusi kelompok, dan refleksi diri.
Salah satu alumninya, dalam wawancara dengan media, menyatakan: “Di Sekolah Alam, saya belajar memahami orang lain dan menyelesaikan masalah bersama, bukan cuma mengejar nilai. Itu yang bikin saya siap masuk dunia kerja sejak kuliah.”
Contoh lainnya adalah Sekolah Cikal yang memiliki filosofi “Merdeka Belajar, Bertumbuh Bersama”. Di Cikal, pengembangan karakter tidak dilepas dari kurikulum, melainkan dijalin dalam setiap aspek pembelajaran: dari cara menyapa guru, budaya membaca reflektif, hingga keterlibatan dalam kegiatan sosial.
Data Global: Karakter dan Kesuksesan Hidup
Data dari World Economic Forum (2020) menunjukkan bahwa dari 10 keterampilan yang paling dibutuhkan di abad ke-21, hanya dua yang bersifat akademik (literasi dan numerasi). Sisanya adalah soft skills seperti komunikasi, kemampuan bekerja dalam tim, kreativitas, kepemimpinan, dan kemampuan beradaptasi—semuanya terkait erat dengan karakter.
Penelitian jangka panjang oleh Dr. Angela Duckworth dari University of Pennsylvania juga menunjukkan bahwa “grit” atau kegigihan—yang merupakan bagian dari karakter—lebih berpengaruh terhadap keberhasilan anak dalam jangka panjang daripada IQ.
Peran Kritis Orangtua dan Komunikasi Sekolah
Sekolah tidak bisa berjalan sendiri. Kunci keberhasilan pendidikan karakter adalah komunikasi dan sinergi antara sekolah dan keluarga. Banyak sekolah yang mulai rutin mengadakan pelatihan parenting, diskusi orangtua-guru, dan laporan perkembangan siswa yang mencakup aspek sosial dan emosional, bukan hanya nilai akademik.
Kepala Sekolah Dasar Negeri Model di Sleman, Yogyakarta, menjelaskan: “Kami sekarang kirimkan dua laporan bulanan: satu tentang nilai akademik, dan satu tentang perkembangan karakter. Reaksi orangtua berbeda-beda, tapi perlahan mereka mulai menyadari bahwa anak mereka tumbuh dalam hal yang lebih penting daripada angka.”
Jalan Panjang Menuju Pendidikan Manusiawi
Mendorong pendidikan karakter sebagai pusat sistem pendidikan dasar memerlukan kesabaran, keberanian, dan perubahan budaya yang luas. Pemerintah sudah mengambil beberapa langkah melalui program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) sejak 2016, tetapi implementasinya masih belum merata dan kerap tersisih oleh tuntutan nilai Ujian Sekolah dan seleksi PPDB.
Untuk itu, evaluasi sistem pendidikan sebaiknya mulai mengurangi ketergantungan pada standar nilai seragam. Perlu ada kebijakan yang mendukung model pembelajaran holistik, memberikan pelatihan guru dalam pendidikan karakter, serta indikator keberhasilan sekolah yang mencakup aspek non-akademik.
Sebagaimana dikatakan Ki Hajar Dewantara, “Pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.” Kata kuncinya bukan “ranking”, tetapi “kebahagiaan”.
Penutup
Pendidikan karakter bukanlah alternatif, melainkan kebutuhan mendesak bagi masa depan. Dunia hari ini dan esok tidak hanya membutuhkan ilmuwan hebat atau insinyur andal, tetapi juga manusia yang jujur, berintegritas, peduli, dan bisa hidup berdampingan. Maka, tugas kita bersama—guru, orangtua, pembuat kebijakan—adalah menciptakan sistem yang menumbuhkan manusia, bukan sekadar peraih nilai tinggi.
Selamat Hari Pendidikan Nasional… “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua”.