ENREKANG | Warta Rakyat – Muh Alfatah M (20), seorang anak buah kapal (ABK) asal Enrekang, Sulawesi Selatan (Sulsel), meninggal dunia saat berlayar.
Jenazah Alfatah dibuang ke laut atau dilarungkan atas pertimbangan kesehatan.
Bagaimana sebenarnya aturan soal pelarungan jenazah ABK yang meninggal di atas kapal?
Sebagaimana diketahui, keluarga korban telah menerima surat kematian Alfatah.
Dalam surat yang diterima keluarga korban, disebutkan bahwa korban awalnya sedang tidak enak badan dengan gejala kaki dan wajah bengkak, napas pendek, serta dada nyeri saat berlayar menggunakan kapal Long Xing 692 di Apia, negara Kepulauan Samoa.
Masih dalam surat yang diterima keluarga korban, disebutkan korban dipindahkan ke kapal Long Xing 802 lantaran kapal tersebut bakal berlabuh di Samoa sehingga korban dapat dirujuk ke rumah sakit.
Namun korban dinyatakan meninggal delapan jam setelah dipindahkan ke kapal Long Xing 802.
Jenazah korban akhirnya dibuang ke laut atau dilarungkan dengan alasan kapten kapal khawatir jenazah Alfatah menimbulkan penyakit menular yang bakal menjangkiti kru lainnya.
“Iya ada surat (terkait kabar kematian korban). Keluarga sudah salat gaib dua (hari) yang lalu,” ujar sepupu korban, Khairil (23), kepada wartawan, Senin (20/1/2020
Lantas, bagaimana aturan yang mengatur soal ABK yang meninggal di atas kapal ini?
Merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No 7 Tahun 2000 Tentang Kepelautan, seorang ABK memiliki beberapa hak, dari santunan kematian hingga pemulangan jenazah.
Biaya pemulangan jenazah ke keluarga ABK ditanggung oleh pengusaha angkutan, dengan catatan kondisi dalam keadaan yang memungkinkan, yakni jenazah masih tahan untuk dibawa ke darat.
Begini bunyi pasalnya:
Pasal 31
(1) Jika awak kapal meninggal dunia di atas kapal, pengusaha angkutan di perairan wajib menanggung biaya pemulangan dan penguburan jenazahnya ke tampat yang dikehendaki oleh keluarga yang bersangkutan sepanjang keadaan memungkinkan.
(2) Jika awak kapal meninggal dunia, pengusaha angkutan di perairan wajib membayar santunan:
a. Untuk meninggal karena sakit besarnya santunan minimal Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
b. Untuk meninggal dunia akibat kecelakaan kerja besarnya santunan minimal Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
(3) Santunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan kepada ahli warinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kendati demikian, aturan soal pelarungan jenazah ABK ini kembali lagi kepada surat Perjanjian Kerja Laut (PKL) yang sepakati oleh ABK dengan pengusaha angkutan berdasarkan PP No 7 Tahun 2000.
Perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) memastikan akan memperjuangkan hak-hak Alfatah. PJTKI berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) untuk membantu hak-hak Alfatah.
“Ya. Tapi kami ada di Bekasi. Tapi karena anak ini pernah mendaftar di kita, kita dapat informasi, kita koordinasi dengan Kemlu kita akan bantu hak-hak dia. Kita bantu komunikasi ke luar negeri. Kalau BPJS-nya sudah dibereskan BNP2TKI,” kata pimpinan PT Alfira Perdana Jaya (APJ), Parlintongan, saat dihubungi, Senin (20/1/2020).
Dia menjelaskan PT APJ bukan perusahaan yang menyalurkan Alfatah ke Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS). Parlintongan mengatakan Alfatah bekerja di luar negeri menjadi TKI secara mandiri.
“Jadi si Alfatah ini pernah mendaftar ke kami, namun karena memang proses di kami terlambat maka mereka berangkat secara mandiri, namun resmi juga. Maka di BNP2TKI itu tercatatnya TKI mandiri. Namun karena yang mengetahui dan mengenal agensinya itu staf saya, maka kami membantu dia untuk menyelesaikan hak-hak dia. Kami siap membantu,” jelasnya.
Dia mengatakan pihaknya bersedia membantu atas alasan kemanusiaan. Dia mengatakan saat ini untuk asuransi dari dalam negeri sudah beres.
Sumber: detikcom
Editor. : marolop