Pilkades: Antara Demokrasi dan Kemajemukan Sosial

Firman Saefatullah, M. Pd

Firman Saefatullah, M. Pd
(Peneliti Senior di Institute of Election and Democracy)

Pasca reformasi, Indonesia mempersilahkan segala piranti demokrasi dilaksanakan dengan leluasa, tentu dengan menyiapkan pula regulasi pendukung yang disepakati oleh pemangku kekuasaan di negara ini, baik eksekutif, yudikatif terlebih legislatif sebagai pengejawantahan dari kedaulatan.

Pemilihan kepala desa (Pilkades) dengan beragai ornamen yang di reformasi menjadi salah satu amanah perjuangan pembaharuan sistem yang dimufakati sebagai penanda ikhtiar kebaikan bagi bangsa ini.

Mekanismenya kemudian diatur dalam pasal 31 UU Desa, bahwa pemilihan kepala desa dilaksanakan secara serentak diseluruh wilayah kabupaten/kota.

Untuk teknis pelaksanaan aturan tentang UU Desa ini, maka lahirlah Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 112 Tahun 2014 yang didalamnya termaktub secara khusus mengatur tata cara Pilkades.

Pada perkembangannya, Permendagri ini kemudian diubah melalui Permendagri Nomor 65 tahun 2017 Tentang Perubahan atas Permendagri No 112 Tahun 2014 Tentang Pilkades yang mengubah dan menghapus beberapa hal yang ada di Permendagri lama. Hal ini dilakukan untuk melaksanakan amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 128/PUU-XIII/2015.

Kearifan lokal (Local Wisdom)
Dari perubahan-perubahan di atas tentunya mempunyai harapan yang sama akan lahirnya pemimpin di pemerintahan desa yang memiliki kemampuan, integritas dan kepemimpinan yang berkonsep untuk memajukan desa serta berorientasi meningkatkan posisi desa dalam percaturan global kedapan.

Kesemua itu tentunya dengan tetap menjaga kearifan lokal yang ada di desa tersebut, kearifan lokal sebagai pondasi dalam melaksanakan pembangunan baik mental spiritual maupun fisik material.

Kearifan lokal yang merupakan modal dasar pembangunan, semestinya lestari dalam pergulatan idealisme pembangunan yang lebih luas.

Sebagai ciri khas sebuah desa, kearifan lokal meniscayakan pemberdayaan masyarakat desa dengan segala potensi yang dimilikinya, dan dengan fatsoen yang dipercayai sebagai tonggak nilai yang harus dipertahankan.

Kearifan lokal mengandung makna segala bentuk kebijaksanaaan yang didasari oleh nilai-nilai kebaikan yang dipercaya, di terapkan dan senantiasa dijaga keberlangsungannya dalam kurun waktu yang cukup lama (secara turun menurun) oleh sekelompok orang dalam lingkungan atau wilayah tertentu yang menjadi tempat tinggal mereka.

Dalam hal ini, kearifan lokal yang seyogyanya terpelihara di bawah komando pemimpin terpilih hasil pilkades bisa berwujud pola pikir masyarakat yang berbudi pekerti baik, perasaaan mendalam terhdap tanah kelahiran, bentuk perangai atau watak dominan masyarakat yang akan tetap melekat saat berbaur dengan lingkungan yang berbeda atau bahkan filosofi hidup masyarakat yang telah mendarah daging.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah dengan piranti regulasi yang ada mampu memunculkan calon-calon kepala desa dengan kemampuan mewujudkan harapan-harapan di atas, terutama menjaga “ajeg”-nya kearifan lokal di desa yang akan mereka pimpin selama enam tahun kedepan?

Untuk mencipkatakan hasil pilkades yang sesuai harapan sangat bergantung pada proses perencaanan dan kualitas pelaksanaan pilkades itu sendiri.

Dalam hemat penulis setidaknya ada tiga ruh yang harus dihidupkan dalam proses pelaksanaan pilkades serentak ini, sebagai bentuk silaturrahmi semua elemen, upaya mengkombinasikan kemajemukan kultur dan usaha mentautkan berbagai kepentingan untuk pembangunan desa.

Pilkades sebagai bentuk silaturrahim
Dalam pelaksanaannya pilkades harus dijadikan sebagai wahana interaksi verbal dan non verbal bagi semua elemen masyarakat di desa tersebut.

Interaksi yang dalam dimensi religius bermakna silaturrahim harus muncul sebagai pemaknaan atas konstalasi politik tingkat desa.

Ketegangan yang disebabkan gesekan antar calon kepala desa bisa di cairkan melalui duduk bersama semua elemen untuk mencari pemufakatan.

Karena tidak dipungkiri, penduduk desa itu heterogen terutama apabila dilihat dari segi profesi masing-masing masyarakatnya. Ditambah pula dengan fenomena bekerja di tanah rantau atau bahkan migran.

Keberagaman profesi ini merupakan potensi yang harus diaktualisasikan untuk saling melengkapi dalam menentukan regulasi teknis pelaksanaan pilkades ini.

Sehingga regulasi yang dibuat dapat mengakomodir pelbagai kemungkinan yang akan terjadi sekaligus menampilkan tawaran solusinya.

Silaturrahim, yang menjadi anjuran pengamalan ajaran agama dalam bermasyarakat, akan memaksimalkan fungsi individu dalam perannya sebagai bagian dari masyarakat.

Penduduk dengan profesi yang beragam biasanya menciptakan gap di tengah komunikasi antar personal dalam pergaulan masyarakat. Akan tetapi melalui silaturrahim ini, diharapakan dapat mengikis kesenjangan komunikasi antar penduduk yang berprofesi berbeda-beda itu.

Tentunya melalui wadah silaturrahim ini juga, dalam proses pelaksanaan pilkades diniscayakan terdapatnya usaha untuk menjaga tradisi, budaya dan kebiasaan baik yang telah berlaku di masyarakat desa secara turun temurun.

Dengan berpedoman “al mukhafadatu alaa qodimis shaleh wal akhdu ala jadidil ashlah” menjaga tradisi baik yang telah turun temurun dilaksanakan dan berinovasi dengan sesuatu yang lebih baik di masa depan.

Silaturrahim ini dimaknai dengan arti yang luas, yakni upaya dalam mensinergikan pemikiran yang berasal dari latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan pengalaman jasmaniyah-batiniyah yang berbeda untuk sebuah pemufakatan yang didasarkan pada aturan-aturan yang berlaku.

Sehingga terbentuklah apa yang dinamakan dengan integrasi sosial dengan satu tujuan tercipatanya pemilihan kepala desa yang sesuai dengan harapan bersama.

Pilkades dalam kemajemukan sosial
Indonesia dengan masyarakat yang pada umumnya majemuk (Plural Society), berarti masyarakatnya terdiri atas kelompok-kelompok yang tinggal bersama dalam suatu wilayah, tetapi terpisah menurut garis budaya masing-masing.

Kemajemukan suatu masyarakat dapat dilihat dari dua variabel yaitu kemajemukan budaya dan kemajemukan sosial.
Adanya perbedaan genetik (ras, etnis dan suku), budaya (kultur, nilai dan kebiasaan), bahasa, agama, kasta maupun geografis menjadi indikasi terdapatnya kemajemukan budaya di sebuah masyarakat.

Sedangkan kemajemukan sosial dintentukan indikator-indikator seperti kelas, status, lembaga ataupun power.
Masalah yang lebih banyak muncul pada pilkades adalah berhimpitannya dua variabel kemajemukan tersebut, sehingga masalah yang muncul menjadi kompleks.

Akan tetapi, dari beberapa kasus yang terjadi di dalam pesta demokrasi, masyarakat Indonesia khususnya masyarakat pedesaan telah cukup dewasa menyikapinya sebagai sebuah konskwensi dari adanya kesepakatan berdemokrasi, sehingga nyaris tidak ada masalah yang signifikan pasca pemilihan.

Namun tidak juga menafikan adanya friksi sentimen personal, tapi ini kasuistik dan tidak bisa di generalisasi.

Justru melalui Pilkades, kemajemukan itu bisa menjadi sumber inspirasi dan pembuktian dalam i’tikad baik menjaga nama baik desa dan saling bahu membahu meningkatkan peringkat desa dengan berbagai prestasi dan citra diri yang baik. Karena demokrasi yang dibangun lewat pilkades tidak serupa dengan demokrasi barat, demokrasi yang sebenarnya sedang di bangun melalui pilkades adalah demokrasi musyawarah, demokrasi gotong royong atau lebih tapatnya demokrasi ala Indonesia.

Moh Hatta menyebut demokrasi semacam ini sebagai demokrasi kolektif yang mengandung di dalamnya cita-cita demokrasi sosial. Menurut Hatta : “Di desa-desa sistem demokrasi masih kuat dan hidup sehat sebagi bagian dari adat istiadat yang hakiki.”

Sehingga terkait dinamika poitik dalam menjaga kesatuan tujuan di tengah kemajemukan masyarakat, Pilkades dapat dijadikan sebagai bagian dari perwujudan nilai-nilai demokrasi di desa dengan merujuk pada lima kriteria ideal demokrasi dari Robert Dahl yaitu;

Pertama, adanya partisifasi efektif dengan jaminan kesempatan yang sama bagi seluruh masyarakat desa yang telah memenuhi persyaratan perundang-undangan untuk berpartisifasi dalam pilkades ini.

Kedua, kesetaraan pilihan yang berarti adanya jaminan penilaian setiap pilihan dihitung setara dengan tidak membeda-bedakan kelas apapun atau sistem one man one vote.

Ketiga, adanya pemahaman yang cukup melalui optimalisasi sosialisasi peraturan dan semua informasi terkait Pilkades baik formil maupun materiil, sehingga masyarakat dapat menemukan dan menentukan pilihan terbainya.

Keempat, kontrol terhadap agenda dengan adanya kesempatan untuk menentukan masalah politik. Dan terakhir Kelima, harus inklusif yang berarti tidak ada pengecualian untuk seluruh warga masayarakat.

Pada akhirnya Pilkades dengan berbagai piranti demokrasi ala desa harus mampu menjaga ajegnya kearifan lokal sebagai pondasi untuk mentautkan pelbagai kepentingan semua elemen masyarakat, hal ini dalam rangka memberdayakan potensi masyarakat desa dan positioning strategis eksistensi desa di tengah pergulatan global dan tantangan revolusi industri 4.0.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.