JAKARTA | WARTA RAKYAT — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas Presiden Prabowo Subianto dinilai sebagai langkah strategis dalam membangun kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Trubus Rahardiansah, pakar kebijakan publik sekaligus dosen Sosiologi Hukum dan Pengantar Ilmu Politik Universitas Trisakti, menyebut program ini sebagai bentuk keberpihakan negara terhadap anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah agar mendapatkan asupan gizi yang layak.
Konsep MBG disebut sejalan dengan kebijakan serupa di negara-negara seperti Brasil, Jepang, Korea Selatan, dan Finlandia. Bahkan, Presiden Brasil dikabarkan melakukan kunjungan ke Indonesia untuk mempelajari pelaksanaan dapur MBG sebagai referensi kebijakan pangan nasional mereka.
Meski dinilai menjanjikan, pelaksanaan MBG masih menghadapi sejumlah tantangan. Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai pelaksana program tergolong baru, sehingga pemahaman masyarakat terhadap struktur, mekanisme kerja, dan koordinasi antarinstansi belum merata. Trubus menekankan pentingnya edukasi publik untuk membangun kepercayaan dan memastikan masyarakat memahami alur pelaksanaan program.
Peran pemerintah daerah (Pemda) juga dinilai krusial, terutama dalam pengawasan dan pembinaan dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Dengan pemahaman yang lebih baik terhadap kondisi wilayah, Pemda diharapkan mampu mengatasi tantangan geografis dan sosial ekonomi dalam distribusi makanan bergizi.
Tantangan utama lainnya adalah menjaga kualitas dan keamanan makanan. Beberapa kasus menunjukkan penurunan kualitas akibat penyimpanan yang terlalu lama atau proses memasak yang kurang tepat. Trubus menyarankan agar setiap dapur SPPG melibatkan ahli gizi dan membatasi kapasitas produksi maksimal 2.000 porsi per dapur. Pelatihan berkelanjutan bagi juru masak serta pemberian sanksi terhadap dapur yang tidak memenuhi standar juga dianggap penting untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas.
Partisipasi publik menjadi elemen penting dalam keberhasilan MBG. Kepala sekolah, guru, dan komite sekolah diharapkan turut serta dalam pengawasan makanan secara rutin. Masyarakat juga dapat dilibatkan dalam proses produksi dan distribusi untuk meningkatkan rasa memiliki terhadap program.
Trubus juga menyoroti perlunya kemudahan dalam proses sertifikasi Kelayakan Higienis, Legal, dan Standar (KHLS) serta sertifikasi halal, terutama bagi dapur skala daerah yang kerap menghadapi kendala biaya.
Ke depan, sasaran program MBG akan diperluas, tidak hanya untuk anak sekolah, tetapi juga ibu hamil, ibu menyusui, dan lansia. Saat ini, program telah menjangkau sekitar 50 juta penerima dari total target 82 juta. Digitalisasi tata kelola MBG dinilai penting untuk mempercepat distribusi, memantau kualitas makanan, dan mencegah risiko keterlambatan atau insiden keamanan pangan.
“Program MBG merupakan investasi jangka panjang untuk menciptakan generasi yang sehat, cerdas, dan produktif sebagai fondasi menuju Indonesia Emas 2045,” tutup Trubus






