Dari Event Tourism ke  Experience Tourism

Ary Satia Dharma, S.Sos, M.Si

Kunjungan Naik, Lama Tinggal Tak Bergerak

TANJUNGPINANG | WARTA RAKYAT – Sahabat saya Dr. Margaretha Ari Anggorowati, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kepulauan Riau (Kepri) mengungkapkan bahwa jumlah wisatawan mancanegara ke Kepri pada Agustus 2025 mencapai 185.012 kunjungan, naik 17,06 persen dari Juli yang tercatat 158.043 kunjungan. Demikian juga halnya dengan wisatawan domestik menunjukkan tren positif, dimana  sepanjang Januari–Agustus 2025, jumlah pelancong domestik mencapai 2,85 juta perjalanan, atau tumbuh 28,58 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. (dikutip dari portal Haka, 6 Oktober 2025)

Namun di balik geliat kunjungan itu, ada satu indikator yang masih membisu: rata-rata lama menginap (length of stay/LoS) wisatawan yang  hanya 1,88 malam — angka yang stagnan dalam lima tahun terakhir. Artinya, banyak wisatawan datang, tetapi hanya singgah sebentar. Dampak ekonomi pun tidak terdistribusi luas ke sektor akomodasi, kuliner, dan ekonomi kreatif lokal.

Pemerintah Provinsi Kepri melalui Dinas Pariwisata mencoba merespons kondisi ini dengan strategi menambah kegiatan pendukung pada event-event utama agar wisatawan memiliki alasan untuk tinggal lebih lama (dikutip dari portal Haka, 6 Oktober 2025).  Strategi ini tampak menarik, tetapi jelas belum menyentuh akar persoalan. Sebab, stagnansi lama tinggal bukan semata karena kurangnya event, melainkan karena belum terbangunnya pengalaman wisata yang saling terhubung antar-destinasi dan antarwilayah.

Potensi yang Tak Tergarap Merata

Pariwisata Kepri dikenal luas lewat dua ikon utama: Batam dan Bintan. Padahal, provinsi ini menyimpan pesona pariwisata yang jauh lebih beragam. Tanjungpinang memiliki kekayaan sejarah dan budaya Melayu. Pulau Penyengat dengan Masjid Raya Sultan Riau dan jejak literasi Raja Ali Haji merupakan warisan peradaban Melayu yang unik di Asia Tenggara. Karimun menawarkan wisata bahari dan pulau-pulau kecil yang masih alami, ideal untuk menyelam dan menjelajahi pulau (island hopping). Lingga dikenal dengan pesona geowisata dan wisata spiritual—Gunung Daik, makam para sultan, dan tradisi budaya lokal menjadi simbol kearifan sejarah. Anambas dan Natuna, dua kabupaten di perbatasan utara Indonesia, menyuguhkan laut sebening kaca, batu granit eksotis, dan keaslian alam yang menyaingi Maldives.

Sayangnya, kekayaan potensi ini belum terintegrasi secara strategis. Wisatawan umumnya hanya datang ke Batam atau Bintan karena akses mudah dan promosi yang gencar, sementara destinasi lain tertinggal dalam promosi, aksesibilitas, dan fasilitas.

Akibatnya, pola perjalanan wisatawan cenderung pendek dan terpusat — mereka datang, berbelanja, lalu pulang. Padahal, jika setiap daerah mengembangkan keunikan atraksi dan produk wisatanya sendiri, wisatawan akan terdorong menjelajah lebih luas di dalam Kepri. Ini akan memperpanjang lama tinggal tanpa perlu “memaksa” mereka menetap di satu tempat.

Strategi Fundamental: Dari Event ke Pengalaman

Untuk mengatasi stagnansi lama tinggal wisatawan, strategi pariwisata Kepri perlu bergeser dari pendekatan event tourism ke arah experience tourism (Fansurya, et al., 2024). Ada tiga strategi kunci yang dapat ditempuh. Pertama, Diferensiasi Atraksi Berdasarkan Karakter Daerah; Setiap kabupaten/kota perlu memetakan dan mengembangkan keunikan atraksinya sendiri (Nugroho et al., 2021) . Batam bisa fokus pada urban entertainment dan MICE tourism, Bintan pada resort dan sport tourism, Tanjungpinang pada wisata budaya dan sejarah Melayu, sementara Karimun, Lingga, Anambas, dan Natuna pada wisata bahari dan ekowisata. Dengan diferensiasi ini, wisatawan akan memiliki alasan untuk menjelajahi beberapa destinasi dalam satu perjalanan. Hasilnya: lama tinggal meningkat, dan dampak ekonomi menyebar lebih merata.

Kedua, Integrasi Aksesibilitas dan Paket Wisata Antarwilayah; Salah satu hambatan utama pariwisata Kepri adalah fragmentasi akses antarwilayah (Sari, et al., 2024). Rute pelayaran dan penerbangan lokal belum terintegrasi dengan baik, sehingga perjalanan antarpulau terasa rumit dan mahal. Dengan demikian  Dinas Pariwisata perlu berkoordinasi erat dengan Dinas Perhubungan untuk memperkuat jaringan transportasi laut dan udara antardaerah. Dukungan terhadap operator kapal cepat, penguatan pelabuhan wisata, serta digitalisasi tiket lintas daerah (misalnya melalui “Kepri Travel Pass”) bisa menjadi terobosan penting.

Selain itu, kerja sama dengan asosiasi pelaku wisata seperti ASITA dan PHRI dapat mendorong terciptanya paket wisata inter-destinasi, misalnya: “4D3N Cultural & Marine Trail:Batam–Tanjungpinang–Lingga” atau “Island Expedition: Bintan–Karimun–Anambas”. Dengan begitu, Kepri tak lagi sekadar gerbang wisata Singapura, melainkan destinasi multi-klaster dengan pengalaman berlapis.

Ketiga,  Penguatan Narasi Digital dan Branding Daerah; Di era digital, persepsi wisata terbentuk lewat narasi (Fida et al., 2025). Sayangnya, cerita tentang Pulau Penyengat, Gunung Daik, air terjun Temburun Anambas,  Geopark di Natuna, atau  kisah Si Badang di Karimun masih jarang muncul di platform global seperti TripAdvisor, Google Travel, atau TikTok Travel. Oleh karenanya Dinas Pariwisata perlu menginisiasi program digital storytelling yang melibatkan komunitas lokal dan content creator  muda untuk mempromosikan pesona setiap kabupaten. Dengan pendekatan naratif, destinasi di Kepri bisa menonjol bukan hanya karena keindahan fisik, tetapi juga kisah dan maknanya.

Agar pergeseran pendekatan tersebut dapat berjalan secara efektif, beberapa langkah yang perlu ditempuh adalah : (i) Menyusun rencana induk pariwisata berbasis klaster wilayah dan tema pengalaman (Masteriarsa & Riyanto, 2023); (ii) Memberikan insentif kolaboratif bagi pelaku wisata lintas daerah yang mengembangkan paket gabungan (Rosalina et al., 2023); (iii) Membangun kemitraan pemerintah–swasta–komunitas dalam pengelolaan atraksi dan promosi digital (Rhama & Setiawan, 2020); dan  (iv) Melakukan riset pasar wisatawan secara berkala untuk memahami tren preferensi dan perilaku perjalanan (Wang & Azizurrohman, 2025).

Refleksi: Mengubah Paradigma Wisata Kepri

Kepulauan Riau memiliki posisi strategis, kekayaan budaya Melayu-Maritim, dan panorama bahari kelas dunia. Membuat Length of Stay (LoS) wisatawan di Kepri menjadi 3 atau bahkan 4 hari bukanlah hal yang mustahil.  Namun, selama orientasi pengembangannya masih bertumpu pada event tourism yang sifatnya sesaat, peningkatan LoS akan sulit terwujud.

Kepri perlu bertransformasi menuju experience tourism — pendekatan yang menekankan konektivitas antarwilayah, narasi budaya, dan pengalaman emosional wisatawan. Dengan demikian, pariwisata Kepri tak hanya ramai dikunjungi, tetapi juga dihidupi; bukan hanya menciptakan kunjungan, melainkan juga keberlanjutan nilai bagi masyarakat lokal.

 

Oleh : Ary Satia Darma, S.Sos, M.Si

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses