Co-Creation is the New Currency: Membangun Kampus Berdampak Melalui Aliansi Strategis

Ary Satia Dharma - Ka. Biro Akademik, Perencanaan, Kemahasiswaan dan Kerjasama UMRAH

TANJUNGPINANG | WARTA RAKYAT – Dalam beberapa tahun terakhir, muncul sorotan tajam terhadap minimnya dampak nyata perguruan tinggi di Indonesia terhadap kebutuhan industri, dunia usaha, masyarakat, dan pemerintah. Laporan Tracer Study Kemendikbudristek 2022 menunjukkan bahwa hanya 38,2% lulusan perguruan tinggi bekerja di bidang yang sesuai dengan keahliannya, dan sisanya terserap di sektor yang tidak linear atau bahkan menganggur. Survei World Economic Forum 2023 juga menempatkan Indonesia dalam kelompok negara dengan education-industry mismatch yang masih tinggi di kawasan Asia Tenggara.

Sementara itu, masyarakat lokal dan pemerintah daerah masih mengeluhkan rendahnya keterlibatan kampus dalam menyelesaikan persoalan-persoalan nyata, mulai dari pengangguran muda, kemiskinan struktural, sampai krisis pangan dan lingkungan. Kampus kerap dipersepsikan sebagai menara gading yang sibuk dengan akademisme, namun jauh dari denyut kebutuhan publik.

Di tengah tantangan ini, muncul sebuah konsep strategis yang semakin relevan dan menjanjikan: co-creation.

Co-creation bukan sekadar tren, tetapi paradigma baru dalam membangun nilai dan dampak kampus secara kolektif. Ia menempatkan seluruh aktor—mahasiswa, dosen, mitra industri, pemerintah, masyarakat—sebagai co-designer dalam proses pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Dalam co-creation, nilai diciptakan bersama, bukan dikirim satu arah dari kampus ke luar.

Mengapa ini penting? Karena problematika sosial saat ini bersifat kompleks dan multidimensi. Kampus tidak bisa menyelesaikannya sendirian. Keterlibatan pihak eksternal dalam merancang kurikulum, mengarahkan riset, bahkan mendampingi kegiatan mahasiswa adalah cara paling relevan untuk memastikan bahwa hasil pendidikan benar-benar bermanfaat dan aplikatif.

Lebih dari itu, co-creation menjawab kebutuhan akan learning agility dan experiential learning. Mahasiswa tidak cukup hanya menerima teori; mereka perlu berhadapan langsung dengan dinamika dunia nyata melalui kerja bersama masyarakat, pemerintah daerah, atau UMKM lokal.

Namun co-creation tidak bisa berdiri di ruang hampa. Ia memerlukan fondasi berupa aliansi strategis yang dibangun kampus secara sistematis dengan berbagai pemangku kepentingan. Aliansi ini bukan hanya bentuk kerja sama administratif (MoU), melainkan kemitraan berbasis visi dan kepentingan bersama.

Beberapa manfaat kampus dengan membangun aliansi strategis adalah : (i) Kurikulum bisa dirancang dengan input langsung dari industri; (ii) Riset dan inovasi diarahkan berdasarkan kebutuhan daerah; (iii) Mahasiswa belajar langsung di lapangan melalui co-supervised projects; (iv) Pengabdian masyarakat menjadi lebih terarah dan terukur dampaknya; (v) Kampus yang aktif membangun aliansi strategis juga cenderung lebih dipercaya publik, lebih responsif terhadap perubahan, dan memiliki trust capital yang tinggi dalam ekosistem regionalnya.

Meski menjanjikan, implementasi co-creation masih menghadapi sejumlah tantangan di tingkat institusional: (i) Mindset yang Belum Kolaboratif. Banyak dosen dan pimpinan kampus masih memandang kampus sebagai pusat produksi pengetahuan tunggal, bukan sebagai platform kolaborasi; (ii) Struktur Organisasi yang Birokratis. Prosedur internal kampus seringkali lambat dan tidak mendukung kerja sama dinamis dengan mitra luar; (iii) Sistem Insentif yang Tidak Menghargai Kolaborasi. Kinerja dosen masih diukur dari publikasi jurnal dan beban ajar, bukan dari keberhasilan membangun dampak sosial melalui kolaborasi lintas sektor; (iv) Kurangnya Keterampilan Fasilitasi Co-Creation
Tidak semua civitas akademika memiliki kompetensi dalam desain partisipatif, fasilitasi multipihak, atau pendekatan inovatif seperti design thinking.

Untuk menjadikan co-creation sebagai mata uang baru kampus berdampak, setidaknya ada lima langkah strategis yang dapat ditempuh: (i) Reorientasi Visi Institusi; Kampus harus menempatkan dampak sosial sebagai inti dari misinya, bukan sekadar pelengkap tridharma; (ii) Pemetaan dan Aktivasi Stakeholder; Identifikasi aktor-aktor eksternal yang relevan dengan mandat dan kekuatan kampus, lalu bangun komunikasi berbasis kepercayaan; (iii) Penguatan Kapasitas SDM; Dosen dan tenaga kependidikan perlu dibekali keterampilan co-design, fasilitasi, dan komunikasi lintas sektor; (iv) Reformasi Sistem Insentif; Rancang ulang indikator kinerja yang menghargai kontribusi pada inovasi sosial dan kolaborasi multipihak; (v) Penciptaan Ruang Kolaboratif; Bentuk pusat inovasi, living lab, atau forum co-creation yang menjadi simpul antara kampus dan dunia luar.

Di era di mana kredibilitas dan legitimasi perguruan tinggi diuji oleh relevansinya terhadap kehidupan nyata, co-creation hadir sebagai mata uang baru yang paling berharga. Kampus tidak cukup hanya mengajarkan ilmu, tetapi harus menciptakan nilai bersama bersama mitra, mahasiswa, dan masyarakat. Dengan membangun aliansi strategis dan mereformasi internalnya, kampus akan lebih siap menghadapi masa depan: masa di mana kolaborasi bukan lagi pilihan, tetapi menjadi sebuah keharusan.″

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses