Oleh : William Hendri, SH., MH.
Wakil Ketua II MPC Pemuda Pancasila Kota Tanjungpinang
Kader Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia Orda Kota Tanjungpinang
Irfan Amalee pendiri PeaceGeneration lulusan S-2 Heller School Social and Policy Management, Brandeis University Boston USA (Amerika Serikat), bidang Peace Studies dalam bukunya berjudul “Islam Itu Ramah Bukan Marah” mengatakan, bahwa bangsa ini dibangun oleh bapak-bapak bangsa yang tidak pendendam.
Sebagai contoh adalah pernyataan Buya Hamka atas pemenjaraan dirinya oleh Bung Karno, “Saya tidak pernah dendam kepada orang yang menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa semua itu merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan Tafsir Al-Azhar (Kitab Tafsir Al-Quran 30 juz). Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu bagi saya untuk mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan itu.”
Selanjutnya Irfan Amalee mengatakan, bahwa meskipun secara politik berseberangan, Soekarno tetap menghormati keulamaan Hamka.
Menjelang wafatnya, Soekarno berpesan, “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku….” Meskipun banyak yang tak setuju, Buya Hamka dengan ikhlas memenuhi wasiat Soekarno untuk memimpin shalat jenazah tokoh yang pernah menjebloskannya ke penjara itu.
Buya Hamka tak memiliki dendam, karena dia tahu dendam adalah racun. Tapi, terkadang kita senang membiarkan racun itu tetap dalam tubuh kita.
Kata Irfan Amalee, kita tidak mau memaafkan karena beberapa alasan : 1) Ingin terus mendapat simpati dari orang, sebagai orang yang terzalimi; 2) Agar kita punya alasan untuk marah dan menyalahkan orang yang menyakiti kita; 3) Menyangka kalau kita memaafkan maka kita jadi pecundang; 4) Kalau memaafkan berarti kita tidak mampu membela hak kita; 5) Kalau kita memaafkan berarti memberikan keuntungan kepada orang yang kita maafkan; dan 6) Mengkhawatirkan orang yang kita maafkan tidak akan berubah perilakunya.
Itulah kesalahan berpikir yang sangat umum. Padahal menurut Irfan Amalee :
1. Dengan memaafkan kita mengangkat derajat kita dari korban/objek menjadi subjek, pelaku pemaafan. Orang yang tak mau memaafkan berarti dia menikmati posisi korban;
2. Dengan memaafkan, kita menghancurkan dendam yang mungkin bisa jadi senjata menyerang balik. Kita memutuskan untuk tidak menyimpan racun dalam tubuh kita. Dan, tidak terjerumus pada posisi yang sama dengan pelaku;
3. Memaafkan bukanlah atribut pecundang. Sebaliknya, orang yang memaafkan adalah pemenang. Mengalahkan ego, menghancurkan dendam, memahami dan memaklumi orang yang menyakiti bukanlah hal mudah. Hanya orang kuat yang bisa melakukannya;
4. Memaafkan adalah membela hak kita untuk bebas dari racun yang berbahaya. Memaafkan adalah proses membebaskan tahanan dari penjara, dan tahanan itu adalah diri kita;
5. Menurut Lawana Backwell, memaafkan adalah tindakan unik, karena yang mendapatkan manfaat terbesar adalah orang yang memaafkan berupa kebahagiaan; dan
6. Memaafkan adalah keputusan kita dengan diri sendiri untuk hidup merdeka. Jangan berharap banyak dengan memaafkan akan mengubah perilaku orang yang kita maafkan. Karena itu, sudah diluar kuasa kita. “Pemaafan yang tulus tidak diwarnai oleh harapan orang lain menyesal atau berubah. Cintai mereka, lepaskan mereka.”
Dalam bahasa Arab, Al-afwu yang berarti maaf, mengandung makna sesuatu yang tersedia banyak, dan mungkin tak pernah habis. Jadi, kalau kita kehabisan stok maaf dengan mengatakan “tiada maaf bagimu” ini perlu diperika kembali psikologi dan psikisnya. Karena, maaf yang orisil selalu tersedia diberikan berulang-ulang, mesti pada orang yang sama.
Sikap-sikap toleransi harus dibangun oleh dalam diri manusia itu sendiri, dengan dasar kemanusiaan. Kita sadari bersama, bahwa tidak ada manusia yang sempurna, kesempurnaan itu hanya milik Tuhan.
Maka dari itu tidak ada alasan untuk tidak dapat memaafkan kesalahan orang lain sementara kita sendiri bukanlah juga manusia yang sempurna karena pernah bersalah dan tak luput dari kesalahan tanpa disadari.
Kita sadari betul bahwa kita bukanlah seorang maksum seperti Rasul Tuhan yang bebas dari dosa juga kesalahan sebab dipelihara atau dijaga langsung oleh Allah SWT.
Bagaimana mungkin kita tidak dapat bertoleransi kepada orang yang sudah menyatakan permohonan maafnya, namun kita tidak dapat memaafkannya. Sementara kita mengakui bahwa kita adalah pengikut Nabi/Rasul Tuhan seperti Nabi Isa AS, Muhammad SAW dan Nabi/Rasul lainnya.
Sebagai contoh kita umat muslim, tentunya mesti harus dapat mengikuti akhlak yang sudah diajarkan oleh Muhammad SAW. Jika kita mengingat kembali peristiwa syiar Muhammad di kota Thaif, sungguh begitu tragisnya utusan Allah ini justru menjadi target pelecehan, penghinaan, umpatan yang diluapkan dengan kata-kata kotor, bahkan sampai mengalami kekerasan fisik atas lemparan batu oleh warga kota Thaif.
Meski dicemooh dan dianiaya, Nabi Muhammad tidak memiliki dendam menghadapi masyarakat Thaif dan justru beliau telah memberikan maafnya sedari awal. Karena itulah dia termasuk dalam Rasul Ulul Azmi yang kesabarannya sungguh luar biasa. Allah berfirman, “Bersabarlah, seperti para Ulul Azmi” (QS al-Ahqaf: 35).
Nabi Suci Muhammad SAW diutus Tuhan untuk menyampaikan rahmat bagi segenap umat manusia. Rahmat Tuhan itu diwujudkan olehnya dengan cara memberikan cinta kasih kepada seluruh umat manusia di muka bumi. Tidak saja kepada pengikut beliau, melainkan juga kepada orang-orang yang berbeda pendapat atau berseberangan pemikiran, bahkan kepada musuh-musuh beliau. Beliau menghormati mereka sebagai umat Tuhan.
Sikap toleransi ini telah diajarkan oleh Nabi Suci Muhammad SAW kepada umat manusia. Michael Wazler seorang pakar teori politik dan intelektual publik Amerika Serikat berpengaruh, berpendapat jika toleransi adalah sikap keniscayaan yang harus ada di dalam kehidupan bermasyarakat.
Ini artinya sikap toleransi adalah sikap dasar yang harus dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Jika ada anggota masyarakat yang tidak menjunjung nilai toleransi, maka tatanan masyarakat tersebut akan rusak. Hal ini bisa dikatakan sesuai dengan fakta yang ada di lapangan. Banyak sekali konflik di masyarakat akibat kurangnya rasa toleransi.
Melihat fenomena yang terjadi di Kota Tanjungpinang terkait dengan isu SARA (Rasis), perlulah kita sikapi dengan arif dan bijaksana.
Secara sosial, penyelesaian melalui kekeluargaan tetaplah dikedepankan, serta sikap-sikap toleransi harus tetap dijaga dan komunikasi sosial mesti lebih intens. Kita sadari, bahwa masyarakat Tanjungpinang adalah masyarakat yang ramah dan pemaaf serta memiliki toleransi yang tinggi.
Saling memaafkan tidak hanya memberikan kedamaian bagi diri kita, tapi juga memberikan aura positif bagi lingkungan sekitar kita. Dan aura positif itu adalah kedamaian.
Kita bisa saling hidup berdampingan, saling menerima perbedaan satu dengan yang lainnya, saling menghargai dan saling tolong menolong. Saling memaafkan merupakan perilaku memanusiakan manusia.
Memaafkan merupakan upaya mempererat tali silaturahmi, dan memutus api permusuhan.
Bahkan, agama apapun yang ada di dunia ini juga menganjurkan untuk memperkuat tali silaturahmi. Dan dalam memperkuat itu, diperlukan upaya untuk interaksi dan saling mengenal satu dengan yang lain.
Pada titik inilah, kita dituntut untuk bisa saling mengerti, menghargai dan dapat bertoleransi. Sejatinya, saling menghargai dan bertoleransi adalah bentuk keindahan kota Gurindam yang mungkin sulit ditemukan di kota-kota lain.
Toleransi yang muncul dalam kehidupan individu dan sosial merupakan nilai-nilai humanis yang unggul. Hakekatnya adalah mencintai kebaikan bagi manusia, menghormati dan menghargai, serta berlemah lembut dalam interaksi.
Bersikap penuh kebaikan, mengindahkan keutamaan dan kebajikan, memaafkan kesalahan dan kekhilafan. ”Maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik.” (QS Alhijr: 85). Apa yang disebut memaafkan merupakan kategori toleransi, yang pelakunya akan mendapatkan pahala yang besar. Firman Allah, ”Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.” (QS Asysyura: 40).
Suyito seorang Sosiolog di Kota Tanjungpinang menyatakan bahwa merajut toleransi sosial merupakan hal yang harus dikembangkan oleh setiap masyarakat yang hidup dalam wilayah negara kesatuan ini, karena kalau tidak dibangun dan dirajut antar sesama masyarakat justru akan mengalami petaka sosial yang berujung konflik dan ini tidak terhindarkan dalam sistem sosial.
Selanjutnya beliau mengatakan bahwa masyarakat perlu mengelola toleransi sosial antara sesama individu dalam masyarakat agar bisa meminimalkan intoleransi didalam sistem sosial. Intoleransi sangat mengganggu equilibrium atau keseimbangn dalam masyarakat.
Jadi secara adaptif individu-individu dalam masyarakat harus mengembangkan sikap toleransi, agar tujuan masyarakat bisa tercapai dalam membendung terjadinya aksi atau konflik sosial di masyarakat. Integrasi sosial di masyarakat sekali lagi harus menjadikan individu-individu mengembangkan semangat kesadaran kolektif untuk terbangunnya kesepahaman sosial. Terakhir pola-pola kedamaian dan keharmonisan harus tetap dijaga dalam sistem sosial agar bisa melangsungkan keberadaan masyarakat secara aman dan terkendali.
Dengan kesadaran penuh, kita haruslah dapat berdamai dalam perbedaan. Sungguh bijak kata-kata yang disampaikan oleh Voltaire, filsuf asal Prancis pada era Abad Pencerahan, “Saya tidak setuju dengan apa yang anda katakan, tapi saya akan membela sampai mati hak anda untuk mengatakan itu”.