MAHKAMAH

Ary Satia Dharma, S.Sos, M.Si,

TANJUNG PINANG | WARTA RAKYAT – Di ujung hidupnya, Mayor Saiful Bahri duduk sendirian dalam gelap kamarnya. Kepalanya tertunduk, napasnya berat, dan tatapannya kosong — seolah memandang sesuatu yang lebih jauh daripada tembok kusam di depannya. Saat itulah mahkamah imajiner itu muncul: sebuah persidangan batin yang hanya dapat disaksikan oleh mereka yang mengalami pergulatan dengan hati nuraninya sendiri. Hakim, jaksa, dan pembelanya… semuanya berdiri di hadapannya. Dan yang lebih mengerikan: ketiganya adalah dirinya sendiri.

“Mayor Saiful Bahri,” suara hakim menggema dari tempat yang tak terlihat, “Apakah engkau menembak Kapten Anwar demi perjuangan… atau demi kepentingan dirimu sendiri?”

Saiful tak dapat menjawab. Jaksa menimpali dengan dingin, “Kami tahu, Nyonya Murni — istrimu — pernah menjadi kekasih Kapten Anwar. Dan engkau telah lama memendam cinta yang sama terhadapnya.”

Pembela mencoba meredam: “Namun perang tidak memberi pilihan. Keputusan harus diambil. Demi perjuangan Kapten Anwar memang harus dihukum mati”

Tapi hakim hanya menatap Saiful, menunggu pengakuan yang tak pernah datang, hingga ia sendiri runtuh oleh rasa bersalah yang selama ini dikuburnya. Adegan itu — sebagaimana dipentaskan ulang oleh TVRI pada tahun-tahun emas teater televisi (1984) — menjadi salah satu momen paling pilu dalam sejarah drama di Indonesia: sebuah pengadilan hati, tempat kita diadili oleh diri sendiri…

Mahkamah adalah satu dari sedikit drama Indonesia yang berhasil memadukan tragedi personal dengan kritik moral secara begitu elegan. Kejeniusan Asrul Sani terletak pada keberaniannya memindahkan konflik perang dari medan laga ke medan batin. Drama yang diperankan secara apik oleh sahabat ayah saya, Oom Said Galeb Husin (Aktor dan Sutradara asal Kota Tanjungpinang) — tidak menampilkan heroisme, tidak mengagungkan patriotisme, dan tidak menggambarkan kemenangan. Sebaliknya, ia menguliti sisi paling rapuh dari manusia yang berada di pusaran sejarah.

Dalam versi TVRI, adaptasi para kreator memperkaya lapisan emosional dengan menambahkan dimensi sentimental — hubungan cinta lama antara Murni dan Anwar — yang membuat keputusan Saiful semakin tragis. Tetapi bahkan tanpa elemen itu, tulang-belulang drama ini sudah kuat: pergulatan antara tugas, takdir, dan dosa masa lalu.

Asrul Sani adalah penulis yang memahami bahwa pahlawan tak selalu menang melawan dirinya sendiri. Terkadang, musuh terbesar bukan lawan di medan perang, tetapi bayangan kita sendiri.

Di tengah dunia yang kita tinggali sekarang — yang penuh hiruk-pikuk politik, polarisasi media sosial, serta ketidakpastian ekonomi — Mahkamah terasa semakin relevan. Kita hidup di era di mana keputusan-keputusan publik sering dibungkus narasi pengabdian, tetapi sulit dibedakan dari kepentingan pribadi. Banyak tokoh tampil sebagai “pahlawan”, tetapi di baliknya terdapat ambisi, dendam, atau sekadar keinginan mempertahankan wajah.

Krisis politik sering muncul bukan karena lawan terlalu kuat, tetapi karena pemimpin terlalu sibuk membenarkan diri sendiri. Di dunia birokrasi, kita melihat keputusan administratif yang tampak objektif, tetapi disusupi preferensi personal. Di sektor ekonomi, perusahaan mengambil langkah yang disebut “demi stabilitas”, padahal melindungi kepentingan pemilik modal. Bahkan dalam kehidupan sosial, kita sering menghakimi orang lain tanpa pernah membuka mahkamah terhadap diri sendiri.

Kita hidup dalam zaman ketika setiap orang sibuk menjadi jaksa bagi sesama, tetapi lupa menjadi hakim bagi diri sendiri.

Pada akhirnya, Mahkamah bukan sekadar drama — ia adalah cermin. Setiap dari kita mungkin pernah mengambil keputusan yang kita bela dengan argumen rasional, tetapi ingin kita lupakan diam-diam. Keputusan yang kita tutup dengan dalih “tugas”, “keharusan”, atau “kondisi”, padahal kita tahu ada kepentingan pribadi yang ikut menggerakkan tangan kita.

Dan sebagaimana Saiful Bahri, pengadilan itu tidak pernah benar-benar selesai. Kita bisa berpura-pura tegar, bisa menutup semua pintu memori, bisa menenggelamkan rasa bersalah dengan pekerjaan, prestasi, bahkan gelar kehormatan. Namun suatu saat, di ruang yang sepi, ketika tidak ada lagi yang bisa dibohongi, seseorang akan mengetuk dari dalam: kita sendiri.

Pada saat itulah mahkamah itu kembali bersidang — hakimnya diri kita, jaksa penuntutnya hati nurani, dan pembelanya segala alasan yang selama ini kita simpan. Pertanyaannya selalu sama:

“Apakah kita melakukan itu demi kebenaran… atau demi diri kita sendiri?”

Drama Mahkamah mengingatkan bahwa peradilan hati nurani tidak mengenal kadaluarsa. Ia hanya menunggu kita cukup berani untuk duduk di kursi terdakwa — dan menjawab pertanyaan yang paling kita takuti.

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses