Membangun Ekosistem Experience Tourism

Ary Satia Dharma - Ka. Biro Akademik, Perencanaan, Kemahasiswaan dan Kerjasama UMRAH

TANJUNGPINANG | WARTA RAKYAT – Tulisan ini merupakan lanjutan dari opini sebelumnya berjudul “Dari Event Tourism ke Experience Tourism”. Jika pada tulisan terdahulu membahas mengapa strategi pariwisata Kepri perlu bergeser dari pendekatan event-based menuju experience-based, maka tulisan ini berfokus pada pertanyaan yang lebih mendasar: bagaimana membangun ekosistem experience tourism yang berkelanjutan di Kepulauan Riau (Kepri).

Menurut Pine & Gilmore (1999) dalam The Experience Economy, wisata bukan sekadar konsumsi atraksi, tetapi penciptaan pengalaman yang menggerakkan emosi dan makna. Richards (2018) menambahkan bahwa experience tourism menekankan connectivity, cultural storytelling, dan emotional engagement wisatawan. Sementara OECD (2021) menekankan pentingnya destination ecosystems, yakni kolaborasi lintas sektor yang memastikan keberlanjutan ekonomi dan sosial dari pengalaman wisata yang autentik.

Artinya, membangun experience tourism tidak cukup hanya dengan memperbanyak event, tetapi dengan menyusun sistem ekosistem pariwisata yang saling menguatkan antar-aktor dan antarwilayah. Dalam konteks Kepri, ekosistem ini seharusnya menghubungkan pemerintah daerah, pelaku usaha, universitas, komunitas lokal, serta media digital dalam satu jejaring kolaboratif yang menghasilkan nilai pengalaman bagi wisatawan.

Peran Multi-Pihak dalam Ekosistem Experience Tourism

Sebuah ekosistem pariwisata tidak akan tumbuh hanya dengan satu aktor yang bekerja sendiri. Pemerintah mungkin dapat membuka jalan, tetapi tanpa keterlibatan dunia usaha, universitas, komunitas lokal, dan media, experience tourism hanya akan menjadi jargon tanpa jiwa. Karena itu, kolaborasi multipihak menjadi kunci pembeda antara strategi yang sekadar berjalan dan yang benar-benar berdampak.

Pemerintah daerah harus berperan sebagai enabler dan coordinator lintas wilayah. Dinas Pariwisata Kepri bersama kabupaten/kota perlu menyusun Rencana Induk Pariwisata Daerah (RIPPDA) berbasis tema pengalaman, bukan hanya lokasi atraksi. Regulasi insentif bagi pelaku wisata lintas daerah dan pendanaan inovasi promosi digital menjadi langkah penting agar kolaborasi berjalan efektif.

Pelaku usaha dan asosiasi industri (PHRI, ASITA, UMKM) dapat menjadi driver inovasi produk wisata. Mereka dapat mengembangkan paket lintas pulau seperti “4D3N Cultural & Marine Trail: Batam–Tanjungpinang–Lingga” atau “Island Expedition: Bintan–Karimun–Anambas.” Dengan diferensiasi atraksi di tiap kabupaten, wisatawan memiliki alasan untuk menjelajah lebih lama dan lebih luas.

Mengingat bahwa Keaslian (authenticity) adalah inti dari pengalaman wisata , maka Komunitas lokal dan masyarakat adat dapat berperan sebagai local storyteller, pemandu budaya, atau pengelola homestay yang menghadirkan interaksi bermakna. Pendekatan community-based tourism terbukti meningkatkan kepuasan wisatawan sekaligus kesejahteraan masyarakat (UNWTO, 2020).

Perguruan tinggi dan lembaga riset memiliki posisi strategis sebagai knowledge broker dan innovation hub. Melalui riset pasar, pemetaan perilaku wisatawan, serta visitor experience mapping, perguruan tinggi dapat memberikan dasar ilmiah bagi kebijakan dan inovasi produk wisata. Model living lab tourism juga dapat dikembangkan, untuk menguji konsep wisata bahari berbasis kearifan lokal dan keberlanjutan.

Media dan kreator digital; Di era digital, persepsi wisata terbentuk dari narasi. Karena itu, digital storytelling menjadi tulang punggung promosi. Pemerintah dan komunitas perlu memberdayakan content creator muda untuk mengangkat kisah-kisah lokal seperti mitos Gunung Daik, sejarah Pulau Penyengat, atau keindahan Air Terjun Temburun di Anambas. Narasi inilah yang membuat wisatawan tidak hanya datang, tetapi ingin kembali.

Strategi Membangun Ekosistem Experience Tourism 

Membangun ekosistem experience torism yang efektif dapat dilakukan dengan pendekatan adaptive governance yang   menekankan fleksibilitas kebijakan, partisipasi multi-aktor, serta pembelajaran berkelanjutan dalam merespons dinamika preferensi wisatawan dan perubahan lingkungan. Untuk membangun ekosistem experience tourism berbasis adaptive governance, setidaknya terdapat lima langkah strategis yang perlu diambil:

Pertama, membangun Struktur Tata Kelola Multi-Level (Multi-Level Coordination); dengan membentuk forum koordinasi lintas kabupaten/kota, pelaku usaha, komunitas, dan perguruan tinggi untuk merancang visi bersama experience tourism Kepri. Forum ini bertugas mensinkronkan regulasi, menyusun peta klaster pengalaman (experience cluster), dan membagi peran tiap pihak secara jelas.

Kedua, mendorong Co-Creation Produk Wisata Berbasis Narasi dan Budaya Lokal; dengan mengembangkan paket wisata tematik yang tidak hanya menjual objek, tetapi cerita (heritage, kuliner, keseharian masyarakat pesisir). Proses ini harus dilakukan melalui co-design antara masyarakat lokal, UMKM, seniman/budayawan, dan pelaku digital kreatif.

Ketiga, membangun Skema Insentif Adaptif untuk Kolaborasi Lintas Daerah dan Lintas Sektor; pemerintah perlu menyediakan matching fund atau tax rebate bagi penyelenggara yang menyusun paket lintas pulau (misalnya Batam – Karimun – Lingga) atau kolaborasi ekowisata dengan industri kreatif.

Keempat, menerapkan Sistem Monitoring Berbasis Data & Feedback Wisatawan (Experience Intelligence); tidak cukup hanya menghitung jumlah kunjungan, tetapi mengukur Length of Stay, traveller sentiment, serta repeat visit intention melalui survei digital dan sensor data (Wi-Fi tracking, mobile data, dsb). Data ini menjadi dasar penyesuaian kebijakan secara terus-menerus.

Kelima, mengaktifkan Peran Universitas sebagai Innovation Hub; kampus harus dilibatkan sebagai knowledge broker—melakukan riset perilaku wisatawan, membangun living lab experience tourism, mendampingi masyarakat dalam storytelling, sekaligus mengembangkan tourism talent (guide, content creator, community mobilizer).

Pengalaman Raja Ampat

Pembangunan experience tourism di Raja Ampat tidak terjadi secara instan — ia tumbuh dari proses adaptif antara pemerintah daerah, komunitas adat, pelaku usaha, dan lembaga konservasi. Pendekatan ini memenuhi ciri utama adaptive governance (Folke et al., 2005; Chaffin et al., 2014), yaitu polycentric collaboration, learning-by-doing, dan community empowerment. Raja Ampat adalah contoh nyata bagaimana experience tourism bisa berkembang dengan tata kelola yang adaptive. Alih-alih dikelola secara top-down oleh pemerintah saja, ekosistem pariwisata di sana tumbuh melalui kolaborasi fleksibel antara pemerintah daerah, lembaga konservasi global seperti Conservation International, dan komunitas adat yang menjadi pelaku utama homestay, pemandu wisata, hingga penjaga kearifan lokal seperti sasi laut. Sistem berbagi peran dan pendapatan melalui tiket konservasi, penguatan kelembagaan desa wisata, serta integrasi nilai budaya ke dalam narasi wisata membuat pengalaman wisatawan bukan hanya menikmati pemandangan, tetapi merasakan kehidupan lokal secara emosional. Pendekatan inilah — perpaduan community empowerment, learning-by-doing, dan institutional flexibility — yang memungkinkan peningkatan length of stay rata-rata hingga 3–5 hari, jauh di atas kunjungan singkat ala “foto lalu pulang” yang banyak terjadi di destinasi laut lainnya. (Asriati, A. et al., 2022)

Data dari riset “Analisis Determinan Lama Tinggal Wisatawan Homestay” menunjukkan bahwa wisatawan asing tinggal rata-rata sekitar 5 hari di homestay, sedangkan wisatawan domestik sekitar 3 hari, lebih lama dibanding rata-rata kunjungan sehari atau dua hari di banyak destinasi wisata laut di Indonesia. (Parinusa et al., 2019). Keberhasilan Raja Ampat membuktikan bahwa ketika experience tourism dikembangkan dengan pendekatan adaptive governance, lama tinggal wisatawan bisa meningkat secara signifikan.

Refleksi Kritis: Dari Fragmentasi ke Kolaborasi

Masalah pariwisata Kepri bukan kekurangan potensi, melainkan kekurangan orchestra yang menyatukan seluruh instrumen. Batam, Bintan, Tanjungpinang, Karimun, Lingga, Anambas, dan Natuna memiliki melodi unik, tetapi selama ini bermain sendiri-sendiri. Tanpa koordinasi lintas wilayah, Kepri akan terus menjadi “wilayah transit wisata”, bukan destinasi pengalaman.

Membangun ekosistem  experience tourism menuntut tata kelola yang lebih adaptif. Jika ekosistem ini berhasil dibangun, Kepri tidak hanya akan dikenal sebagai gerbang wisata, tetapi sebagai kawasan kepulauan pertama di Indonesia yang menawarkan pengalaman wisata yang hidup, berlapis, dan bermakna.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses