TANJUNGPINANG | WARTA RAKYAT – Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) menghadapi tantangan serius dalam sektor ketahanan pangan. Meskipun wilayah ini dikenal kaya sumber daya maritim, faktanya sebagian besar kebutuhan pangan masih bergantung pada pasokan dari luar daerah, bahkan dari impor. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada 2023, lebih dari 90 persen kebutuhan beras di Kepri dipasok dari luar provinsi, terutama Sumatera Barat, Riau daratan, dan Jawa. Ketergantungan juga terlihat pada komoditas pangan lain seperti daging sapi, bawang, hingga sayur-mayur. Kondisi ini menjadikan Kepri sangat rentan terhadap guncangan harga dan pasokan, terutama dalam situasi geopolitik dan ekonomi global yang tidak menentu.
Kasus yang baru-baru ini mencuat di Kabupaten Karimun menjadi potret nyata dari kerentanan tersebut. Banyak masyarakat dan bahkan beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) menyuarakan kekecewaan terhadap kebijakan Bea dan Cukai yang memperketat masuknya pangan impor ilegal dari negara tetangga. Bagi sebagian masyarakat, pangan impor murah dianggap solusi instan untuk menekan biaya hidup. Namun, kebijakan pengetatan ini memicu protes karena dinilai memperburuk keterjangkauan harga pangan lokal. Fenomena ini adalah gambaran klasik dari apa yang disebut sebagai creeping crises—krisis yang tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan perlahan, menyebar, dan terus membebani kehidupan masyarakat.
Creeping Crises Pangan di Kepri
Creeping crises pangan di Kepri berlangsung dalam bentuk fluktuasi harga yang semakin sering, akses pangan sehat yang terbatas, dan ketergantungan tinggi pada suplai dari luar. Masyarakat di pulau-pulau kecil sering menghadapi kesulitan ganda: harga mahal karena ongkos distribusi tinggi, dan pasokan tidak stabil karena cuaca serta keterbatasan transportasi.
Reaksi masyarakat Karimun yang menyesalkan pengetatan impor pangan murah oleh Bea Cukai mencerminkan ketidakberdayaan mereka terhadap struktur pasokan pangan yang rapuh. Sementara itu, pemerintah daerah pun berada dalam posisi dilematis: di satu sisi harus mendukung penegakan hukum dan kedaulatan ekonomi nasional, namun di sisi lain dituntut memastikan keterjangkauan harga pangan bagi rakyat.
Inilah yang membuat masalah pangan di Kepri harus dipandang bukan sekadar isu teknis perdagangan atau distribusi, melainkan tantangan tata kelola (governance) yang kompleks, penuh ketidakpastian, dan membutuhkan solusi inovatif.
Adaptive Governance
Dalam situasi penuh ketidakpastian, pendekatan adaptive governance menjadi relevan. Berbeda dengan tata kelola birokratis yang cenderung kaku, adaptive governance menekankan fleksibilitas, kolaborasi lintas sektor, serta kemampuan belajar dan beradaptasi dari pengalaman. Pendekatan ini tidak hanya fokus pada regulasi, tetapi juga pada penguatan kapasitas masyarakat dan lembaga untuk merespons perubahan secara cepat dan tepat.
Adaptive governance menuntut pemerintah daerah untuk tidak hanya bersandar pada jalur distribusi pangan daratan atau impor, melainkan berani memanfaatkan potensi lokal yang selama ini terabaikan. Kepri memiliki keunggulan maritim yang luar biasa: laut yang kaya ikan, rumput laut, hasil perikanan budidaya, dan peluang diversifikasi pangan laut. Sayangnya, potensi ini belum diintegrasikan ke dalam kebijakan pangan sebagai solusi utama ketahanan.
Forum Ketahanan Pangan Laut
Salah satu langkah strategis implementasi adaptive governance adalah dengan membentuk Forum Ketahanan Pangan Laut sebagai wadah kolaborasi berbagai stakeholder dalam kerangka pentahelix.
Dalam forum tersebut seluruh stakeholders dengan perannya masing-masing didorong untuk berkolaborasi dan berpartisipasi aktif dalam mensukseskan program ketahanan pangan laut.
Pertama, Pemerintah perlu merumuskan regulasi dan insentif yang mendorong diversifikasi pangan berbasis laut, seperti pengembangan beras analog dari sagu dan rumput laut, serta mendukung nelayan dan pembudidaya dengan teknologi modern.
Kedua, Akademisi memprioritaskan riset inovatif dan pengabdian kepada masyarakat tentang pengolahan pangan laut, budidaya berkelanjutan, dan model distribusi pangan adaptif di wilayah kepulauan.
Ketiga, Bisnis/Swasta berinvestasi dalam industri pengolahan hasil laut sehingga nilai tambah tetap berada di Kepri, bukan hanya menjual bahan mentah.
Keempat, Komunitas mendorong kemandirian pangan lokal, seperti koperasi nelayan atau UMKM pengolahan pangan laut, agar masyarakat tidak hanya sebagai konsumen tetapi juga produsen pangan.
Kelima, Media harus mengedukasi publik tentang pentingnya kemandirian pangan laut, sekaligus menjadi jembatan komunikasi antara masyarakat dan pemangku kebijakan.
Dengan kerangka pentahelix, ketahanan pangan laut tidak lagi hanya jargon, melainkan agenda strategis yang menyatukan kekuatan seluruh elemen. Jika ini dijalankan konsisten, Kepri dapat mengurangi ketergantungan pangan impor sekaligus menciptakan kemandirian ekonomi berbasis maritim.
Penutup
Kasus Karimun memberi pelajaran berharga bahwa kebijakan pangan tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan parsial atau jangka pendek. Pengetatan impor pangan murah memang perlu untuk menjaga kedaulatan ekonomi, tetapi tanpa alternatif lokal yang kuat, masyarakat akan terus rentan terhadap fluktuasi harga dan pasokan.
Karena itu, adaptive governance dengan menempatkan program ketahanan pangan laut dalam kerangka pentahelix harus menjadi solusi utama bagi Kepri. Ini bukan hanya pilihan kebijakan, melainkan kebutuhan strategis untuk menjawab creeping crises pangan yang perlahan menggerogoti daya tahan masyarakat.
Jika Kepulauan Riau mampu mengembalikan kejayaan maritimnya sebagai basis kedaulatan pangan, maka provinsi ini tidak hanya keluar dari kerentanan pangan, tetapi juga menjadi model nasional dalam mengintegrasikan potensi laut untuk ketahanan pangan berkelanjutan.
Ditulis Oleh: Ary Satia Dharma.
Ka. Biro Akademik, Perencanaan, Kemahasiswaan dan Kerjasama UMRAH