‘KAPAL’ Jalan Baru Ketahanan Pangan Maritim

Ary Satia Dharma,S,Sos . M.Si. Ka.Biro Akademik, Perencanaan, Kemahasiswaan dan Kerjasama UMRAH .f-istimewa

TANJUNGPINANG | WARTA RAKYAT – Ketahanan pangan bukan hanya tentang cukupnya beras di meja makan. Ia menyangkut bagaimana masyarakat memperoleh akses, memproduksi secara berkelanjutan, dan mendistribusikan pangan secara adil dan aman. Namun, dalam konteks wilayah kepulauan seperti Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), pendekatan ketahanan pangan nasional yang selama ini berorientasi pada produksi terestrial (darat) terbukti tak lagi relevan.

Sebagai provinsi dengan lebih dari 2.400 pulau, dimana luas daratan hanya 4%, Kepri menghadapi tantangan unik dalam menjamin ketahanan pangan bagi warganya. Data BPS tahun 2023 menunjukkan bahwa 87% kebutuhan beras Kepri masih dipasok dari luar daerah, khususnya Sumatera Barat, Riau daratan, dan Jawa. Di sisi lain, konsumsi rata-rata beras penduduk Kepri mencapai 92,8 kg per kapita per tahun. Dengan populasi lebih dari 2 juta jiwa, tekanan terhadap pasokan pangan dasar sangat tinggi.

Indeks Ketahanan Pangan Kepri tahun 2023 berada pada skor 65,10, menempatkannya di posisi ke-30 dari 34 provinsi secara nasional. Dalam subdimensi ketersediaan, Kepri hanya mengantongi skor 50,2, jauh di bawah rata-rata nasional. Hal ini mencerminkan ketergantungan tinggi pada pasokan luar wilayah dan minimnya produksi lokal. Ironisnya, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Kepri mencatat pertumbuhan ekonomi 6,94% (yoy) pada kuartal IV tahun 2024—lebih tinggi dari rata-rata nasional. Pertumbuhan ekonomi yang tak dibarengi dengan perbaikan ketahanan pangan menciptakan paradoks pembangunan.

Terbatasnya lahan pertanian produktif akibat karakteristik geografis pulau-pulau kecil, terbatasnya sarana dan prasana produksi, dan terbatasnya kompetensi SDM  menyebabkan produksi pangan lokal manjadi sangat terbatas.

Secara historis, sistem ketahanan pangan nasional lebih menekankan pada produksi pangan darat, terutama padi sebagai komoditas utama (Retno Lantarsih et al., 2020). Namun pendekatan ini tidak sesuai untuk wilayah kepulauan seperti Provinsi Kepri yang luas daratanya hanya 4%, dan hanya akan menimbulkan permasalahan ketahanan pangan. Sementara itu, ketahanan pangan global di masa depan menuntut eksplorasi sumber pangan non-konvensional, termasuk dari laut, sebagai respons terhadap keterbatasan lahan dan tekanan lingkungan daratan (Costello et al., 2020). Dalam konteks wilayah Provinsi Kepulauan Riau, laut merupakan ekosistem produktif yang menyimpan potensi luar biasa bagi ketahanan pangan. Menurut Prof. Rokhmin Dahuri, Guru Besar IPB “Wilayah laut Indonesia adalah sumber pangan terbesar yang belum dioptimalkan. Negara ini bisa menjadi lumbung pangan laut dunia jika dikelola secara modern dan berkelanjutan.” Meskipun menawarkan keunggulan multidimensi, namun laut belum sepenuhnya dioptimalkan dalam kebijakan pembangunan ketahanan pangan nasional (Dahuri, 2014).

Di tengah tantangan ini, kita harus meningkatkan tekad dan keberanian untuk menggeser paradigma, pendekatan dan strategi ketahanan pangan yang  berorientasi darat, menjadi berorientasi laut (maritim).  Pendekatan dan strategis baru pengembangan ketahanan pangan yang berbasis komunitas dan teknologi maritim perlu digesa untuk mengatasi ketimpangan ketahanan pangan di wilayah pesisir. Strategi ini bukan sekadar program budidaya ikan, melainkan suatu ekosistem terintegrasi yang mencakup produksi pangan laut, pengolahan bernilai tambah,  dan distribusi yang berbasis teknologi kemaritiman, serta pemberdayaan komunitas lokal, melalui program Kampung Pangan Laut (KAPAL).

Melalui tata kelola kolaboratif, Masyarakat pesisir, perguruan tinggi, BUMDes, pelaku usaha mikro/kecil, Pemerintah, perbankan, DUDI, dan media massa, secara terintegrasi dan sistematis didorong untuk membangun ekosistem Kampung Pangan Laut sebagai model pembangunan pangan  lokal secara berkelanjutan.

KAPAL menekankan produksi pangan laut berbasis komunitas agar nilai tambah terbesar dapat dirasakan oleh komunitas. Penekanan  lain dari program ini adalah pemanfaatan  teknologi maritim, baik dalam budidaya, pengolahan hasil laut dan perikanan, dan pemanfaatani energy. Hasil produksi perikanan dan kelautan seperti  ikan, rumput laut, dan sumberdaya laut lainnya diolah menjadi produk bernilai tambah seperti beras analog dari rumput laut, abon ikan, biskuit ikan, nugget ikan, tepung ikan, dan produk pangan lainnya. Melalui sistem distribusi yang efisien berbasis cold chain dan digitalisasi pemasaran, produk-produk ini didistribusikan ke pasar lokal, antar pulau, nasional maupun internasional.

Tentu saja, seluruh upaya ini memerlukan dukungan kebijakan pemerintah. Perlu dianalisa kebijakan yang  diperlukan untuk mendukung keberhasilan program. Kebijakan existing yang mendukung perlu diperkuat, sedangkan kebijakan existing yang menghambat perlu dieliminir. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota perlu mengintegrasikan program KAPAL ke dalam RPJMD, menyusun peta jalan program KAPAL, strategi sosialisasi dan promosi program, dan menyusun rencana aksi program KAPAL. Dana APBD, dana desa, dana CSR, dana perkreditan rakyat dari perbankan,  dan  dana lainnya harus dimobilisasi untuk mendukung produksi,  logistik pangan laut dan inkubasi usaha maritim. Perlindungan kawasan budidaya dan insentif untuk pelaku UMKM pangan laut juga menjadi kunci.

KAPAL bukan sekadar proyek teknis, tetapi perubahan paradigma. Ia membalikkan arah strategi ketahanan pangan dari daratan ke lautan; dari industrialisasi skala besar ke pemberdayaan komunitas lokal. Sebagai provinsi kepulauan, Kepri berpotensi menjadi model nasional bagaimana ketahanan pangan bisa dibangun dengan identitas maritim.

Sudah saatnya Provinsi Kepulauan Riau berhenti memaksakan pendekatan sawah dan ladang sebagai sumber ketahanan pangan, dan mengalihkan pandangan pada kekayaan sumberdaya laut. Ketahanan pangan Indonesia tidak akan tercapai tanpa memperhitungkan kekuatan dan kerentanan wilayah kepulauan. Dalam arus perubahan iklim dan krisis global, Kampung Pangan Laut bukan sekadar pilihan alternatif—ia adalah kebutuhan strategis bangsa maritim.

Artikel ini ditulis oleh : Ary Satia Dharma, S.Sos, M.Si. (Ka. Biro AKademik, Perencanaan, Kemahasiswaan dan Kerjasama Universitas Maritim Raja Ali Haji)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses