Proses AMDAL PT GBKEK di Pulau Poto Dipertanyakan, Pemilik Lahan Minta Transparansi

Surat undangan rapat pembahasan AMDAL PT GBKEK di Pulau Poto, secara daring pada 26 Februari 2025. (Foto: Istimewa)

BINTAN | WARTA RAKYAT– Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang diajukan oleh PT GBKEK untuk pengembangan kawasan industri di Pulau Poto terus menuai kontroversi. Meskipun berbagai pihak terdampak telah menyampaikan keberatan kepada pemerintah daerah dan pusat, proses perizinan tetap berlanjut meski terdapat sengketa lahan yang belum terselesaikan.

Terbaru, pada 26 Februari 2025, Komisi Penilai AMDAL Pusat Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menggelar rapat daring untuk membahas rencana pengembangan kawasan industri Pulau Poto, yang merupakan bagian dari perluasan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Galang Batang.

Rapat tersebut melibatkan instansi pemerintahan provinsi dan kabupaten, serta perwakilan masyarakat yang ditunjuk oleh Desa Kelong. Namun, para pemilik lahan dan pelaku usaha pariwisata di kawasan tersebut mengaku tidak menerima undangan atau informasi terkait pertemuan itu.

“Kami baru mengetahui adanya rapat ini belakangan. Jika benar demikian, ini terkesan dilakukan secara tertutup. Kami sebagai pihak terdampak seharusnya diundang dan dilibatkan,” ujar seorang pemilik lahan yang enggan disebutkan namanya, Selasa (18/3/2025).

Camat Bintan Pesisir, Assun Ani, membenarkan adanya rapat tersebut. Ia menjelaskan bahwa undangan rapat telah dikeluarkan oleh KLH pada 18 Februari 2025 dan ditujukan kepada sejumlah instansi terkait, termasuk Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kepri, Dinas Kelautan dan Perikanan, serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Di tingkat Kabupaten Bintan, beberapa dinas terkait serta tiga perwakilan masyarakat dari Desa Kelong, yakni Umar Husen, Andriyadi, dan Mukhamad Mustakim, juga diundang.

Namun, pihak yang menolak proyek ini mempertanyakan validitas proses AMDAL tersebut. Mereka menyatakan bahwa pembahasan dampak lingkungan semestinya melibatkan pemilik lahan dan pelaku usaha pariwisata yang terdampak langsung.

“Bagaimana mungkin bicara dampak lingkungan tanpa melibatkan pelaku pariwisata yang sudah lebih dulu ada? Selain itu, bagaimana mungkin lahan yang belum dibebaskan justru masuk dalam rencana pengembangan industri?” keluh salah seorang pihak terdampak.

Polemik ini terus berlanjut. Pemilik lahan dan pelaku usaha berharap pemerintah dan KLH dapat lebih transparan dalam proses perizinan, serta memperhatikan hak-hak mereka sebagai pihak terdampak dari pengembangan proyek tersebut.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.