Oleh: M. Aris Munandar, SH.
(Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Hasanuddin, dan Penulis Buku)
MANIFESTASI negara kesejahteraan (welfare state) adalah ketika keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan warga negaranya dijamin oleh konstitusi sebagai hukum tertinggi di dalam suatu negara.
Hal ini bersesuaian dengan tujuan negara Indonesia yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang berbunyi “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Sebuah narasi yang sangat menggugah nasionalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, sebagus dan seelit apapun tujuan negara, jika dalam penerapannya tidak merefleksikan hal tersebut maka negara itu dapat dikatakan gagal dalam menerapkan nilai-nilai nasionalisme, bahkan lebih daripada itu telah menghianati para pahlawan bangsa.
Berkaitan dengan hal tersebut, baik keadilan, kemakmuran maupun kesejahteraan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari beberapa aspek kehidupan sosial yaitu ekonomi, politik, sosial, budaya, kesehatan dan keamanan.
Fokus pada aspek kesehatan, negara Indonesia memiliki tanggung jawab moral dan konstituonal dalam menjamin hak atas kesehatan para warga negaranya, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Kemudian dipertegas dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”.
Antara kesehatan dan lingkungan hidup sangat berkaitan, sebab lingkungan hidup acap kali menjadi faktor utama dalam menentukan kualitas kesehatan (psikis dan fisik) seseorang, sehingga negara wajib menjamin hak tersebut.
Berkenaan dengan aspek kesehatan, hari ini Indonesia sedang digemparkan dengan merebaknya Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang berasal dari Wuhan, China.
Berdasarkan jurnal medis The Lancet dikatakan bahwa kasus pertama Covid-19 terjadi pada 1 Desember 2019, di mana orang pertama yang terkena Covid-19 tersebut tidak punya kontak dengan pasar hewan di Wuhan.
Seperti yang dilansir oleh bbc.com, bahwasanya menurut salah seorang dokter senior dari Rumah Sakit Jinyintan di Wuhan dan salah seorang penulis hasil penelitian tersebut mengatakan pasien pertama berusia lanjut dan mengidap Alzheimer (penyakit otak yang mengakibatkan penurunan daya ingat, kemampuan berpikir dan bicara, serta perubahan perilaku secara bertahap).
Tetapi menurut World Health Organization (WHO), hipotesis bahwa wabah berawal dari pasar tersebut dan mungkin ditularkan dari binatang hidup ke manusia sebelum menyebar dari manusia ke manusia sangat mungkin diterima (Sumber: bbc.com).
Merebaknya Covid-19 di Indonesia bukan hanya menimbulkan kegelisahan di masyarakat, tetapi juga telah banyak memakan korban hingga detik ini.
Berdasarkan data yang diberikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Republik Indonesia, hingga tanggal 29 Maret 2020 menunjukkan bahwa kasus Covid-19 positif sebanyak 1,285 orang, sembuh 64 orang, dan meninggal 114 orang (Sumber: bnpb.go.id).
Kasus Covid-19 pertama kali diumumkan oleh Pemerintah pada tanggal 2 Maret 2020 di mana terdapat 2 (dua) orang warga depok yang positif Covid-19.
Tentunya peningkatan jumlah kasus Covid-19 di Indonesia menjadi perhatian khusus bagi Pemerintah. Hal ini terbukti dengan banyaknya kebijakan yang telah diterbitkan. Mulai dari kebijakan social distancing (jarak/pembatasan sosial) yang menyebabkan hampir seluruh kegiatan masyarakat yang sejatinya dikerjakan di luar rumah beralih dikerjakan di dalam rumah (work from home).
Kemudian dalam hal ibadah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menerbitkan Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19 yang berisi 9 poin.
Salah satu poin fatwa tersebut berbunyi bahwa “Orang yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar COVID-19 dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan salat Jumat dan menggantikannya dengan shalat dhuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu atau rawatib, tarawih, dan ied di masjid atau tempat umum lainnya.”
Disusul Maklumat Kapolri No. Mak/2/lll/2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (Covid-19), maka setiap orang yang melanggar kebijakan social distancing akan dilakukan penegakan hukum.
Hal tersebut tertuang dalam poin kedua Maklumat Kapolri tersebut yang menjelaskan bahwa untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat maka Kapolri mengeluarkan Maklumat untuk tidak mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan yang menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah banyak, baik di tempat umum maupun di lingkungan sendiri seperti: 1) pertemuan sosial, budaya, keagamaan dan aliran kepercayaan dalam bentuk seminar, lokakarya, sarasehan dan kegiatan lainnya yang sejenis; 2) kegiatan konser musik, pekan raya, festival, bazaar, pasar malam, pameran, dan resepsi keluarga; 3) kegiatan olah raga, kesenian, dan jasa hiburan; 4) unjuk rasa, pawai, dan karnaval; serta 5) kegiatan lainnya yang menjadikan berkumpulnya massa.
Apabila ditemukan perbuatan yang bertentangan dengan Maklumat tersebut, maka setiap anggota Polri wajib melakukan tindakan kepolisian yang diperlukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sudah menjadi kewajiban bagi setiap orang untuk mengetahui Maklumat tersebut agar tidak ada yang dikenai sanksi.
Isu terakhir adalah akan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Kekarantinaan Kesehatan) yang pada dasarnya akan bermuara pada kebijakan lockdown.
Mengingat UU Kekarantinaan Kesehatan hingga hari ini belum memiliki peraturan pelaksana, seorang Pakar Hukum Tata Negara yakni Bvitri Susanti menyatakan bahwa PP cukup untuk mengatur kerangka teknis implementasi karantina wilayah (Sumber: kumparan.com).
Hal senada diungkapkan oleh Prof. Mahfud MD selaku Menteri Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia bahwa karantina kewilayahan sama dengan lockdown dan saat ini Pemerintah sedang menyiapkan aturan (Peraturan Pemerintah) terkait lockdown tersebut (Sumber: news.detik.com). Jika berdasar pada pendapat Prof. Mahfud MD, maka lockdown disamakan dengan karantina wilayah.
Berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU Kekarantinaan Kesehatan, dijelaskan bahwa “Karantina Wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu Masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi”.
Karantina wilayah dilakukan sebagai respon kedaruratan kesehatan masyarakat. Namun perlu dipahami, konsep karantina wilayah (lockdown) dalam UU tersebut adalah tidak membatasi dalam aktivitas mobilisasi kebutuhan pokok dan beberapa tempat seperti toko yang menjual kebutuhan pokok masyarakat.
Yang akan dibatasi hanyalah aktivitas keluar masuk dari wilayah karantina, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 54 ayat (3) UU Kekarantinaan Kesehatan bahwa “Anggota masyarakat yang dikarantina tidak boleh keluar masuk wilayah karantina”.
Selama masa karantina tersebut Pemerintah bertanggung jawab sepenuhnya dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat yang berada dalam wilayah karantina.
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan bahwa “Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat”.
Secara teknis, kewenangan dari Pemerintah Pusat sebagaimana ketentuan tersebut akan diwakili oleh Pemerintah Daerah dalam pelaksanaannya.
Pertimbangan sebelum melakukan karantina wilayah (lockdown) bagi Pemerintah tentunya sangat kompleks.
Dalam UU Kekarantinaan Kesehatan telah dijelaskan bahwasanyanya dalam pelaksanaan karantina wilayah harus didasarkan pada pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektifitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan (Vide: Pasal 49 ayat (2) UU Kekarantinaan Kesehatan).
Jika dilihat dari ketentuan tersebut, salah satu pertimbangan sebelum melakukan karantina wilayah adalah aspek ekonomi.
Kompleksitas permasalahan perekonomian bangsa Indonesia memang sangat pelik, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia tercatat hingga September 2019 angka penduduk miskin Indonesia mencapai 24,79 juta orang (Sumber: bps.go.id).
Tentu dapat ditebak apa yang akan terjadi ketika secara mendadak lockdown diterapkan di Indonesia. Selain itu, kebiasaan berkumpul (komunal) masyarakat Indonesia sudah membudaya sehingga perlu juga dipertimbangkan.
Dapat diketahui bahwa antara tuntutan jaminan kesehatan dengan realitas sosial sangat sulit untuk direkatkan. Ada blank spot yang harus diisi oleh Pemerintah agar kebijakan lockdown dapat berjalan maksimal.
Mengingat hingga hari ini peningkatan kasus Covid-19 di Indonesia terus mengalami eskalasi, tercatat hingga tanggal 28 Maret 2020 jumlah kasus baru mencapai 130 kasus (Sumber: covid19.go.id).
Pada akhirnya ada tuntutan dari sebagian orang untuk melakukan lockdown seiring dengan semakin bertambahnya kasus baru Covid-19 di Indonesia, di sisi lain terdapat tuntutan agar kebijakan lockdown tersebut tidak dilakukan secara menyeluruh bahkan lebih baik tidak dilakukan.
Tentunya hal itu menjadi tugas Pemerintah dalam memutuskan antara memilih lockdown atau tidak. Sebab secara konstitusional, negara wajib menjamin terciptanya kesehatan dan lingkungan yang baik bagi masyarakat.
Sebagaimana dalam konsep grondrechten (hak dasar), negara dapat ikut campur dalam menambah maupun mengurangi hak dasar warga negaranya seperti dalam hal ekonomis, sosial, politik, kesehatan, pendidikan dan seterusnya.
Jaminan kesehatan masyarakat menjadi sangat penting sebagaimana dalam asas yang diungkapkan oleh Marcus Tullius Cicero (Filsuf Italia), yaitu “salus populi suprema lex esto” (keselamatan rakyat berada di atas segala-galanya termasuk di atas undang-undang).
Apapun yang menjadi pilihan terakhir Pemerintah, sudah seharusnya dipertimbangkan secara baik-baik. Sebab, apapun kebijakannya yang didahulukan adalah kewajiban dalam menjamin kesehatan masyarakat.
Terlebih lagi masih banyaknya masyarakat yang minim mendapatkan sosialisasi terkait konsep lockdown ini. Sehingga yang harus dilakukan Pemerintah jika kebijakan lockdown diambil adalah memastikan mekanisme hal tersebut tersampaikan kepada masyarakat.
Karena, berhasilnya kebijakan tersebut ditentukan oleh pemahaman dan kesadaran masyarakat.
Menjadi sia-sia pengambilan keputusan lockdown tersebut yang dapat berdampak pada perekonomian bangsa, jika masyarakatnya tidak memahami konsep dan tata cara pelaksanaannya.
Serta yang terpenting adalah dibutuhkan ketegasan pihak yang berwajib dalam menindaki para oknum masyarakat yang tidak taat aturan. Sebagaimana dalam adagium hukum, “lex dura sed tamen scripta” (betapa pun kejamnya suatu hukum, namun seperti itulah bunyinya), maka pihak terkait dalam hal ini alat perlengkapan negara (Polisi dan lainnya) wajib menegakkan hukum yang mencerminkan nilai kepastian, keadilan, kemanfaatan dan ketegasan.
Sedangkan masyarakat wajib taat pada hukum dan tidak menjadikan alasan ketidaktahuan hukum untuk melanggarnya, sebagaimana asas hukum “ignorantia juris non excusat” (ketidaktahuan hukum tidak dapat dijadikan alasan pemaaf).