JAKARTA | Warta Rakyat – Implementasi proses cegah tangkal ke karantina kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia di bandar udara (bandara) memiliki standar dan manual yang sama sebagaimana halnya diterapkan negara lain sesuai dengan aturan dari World Health Organization (WHO).
Hal tersebut diungkapkan Sekretaris Direktorat Jenderal (Sesditjen) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Achmad Yurianto, sebagai juru bicara terkait penanganan wabah virus korona, saat memberikan keterangan pers di Kantor Presiden, Jumat (6/3).
”Ada 3 objek yang sangat memungkinkan membawa penyakit, baik masuk maupun keluar, yaitu yang pertama manusia, yang kedua barang, yang ketiga alat angkut,” ujar Yuri panggilan akrab Achmad Yurianto.
Berbicara Covid-19, menurut Sesditjen P2P, maka hanya berbicara pada aspek manusianya karena Covid–19 ini tidak akan bisa masuk melalui barang atau menempel di alat angkut.
”Maka standarnya adalah memeriksa manusianya. Dan kemudian salah satu yang kita jadikan indikator tepat untuk memeriksa seseorang yang terinfeksi penyakit menular atau tidak adalah suhu tubuh,” kata Jubir Penanganan Wabah Covid-19.
Thermal scan, menurut Yuri, adalah merupakan screening awal yang sangat kasar untuk mendeteksi orang sedang panas tinggi atau tidak. Ia menambahkan bahwa ada batasan yang dianggap normal dan ada batasan yang dianggap tidak normal. Pada saat menemukan suhu 37,5 lebih, sambung Yuri, maka dianggap ini tidak normal.
”Oleh karena itu, pasti akan dilakukan pemeriksaan lebih spesifik bagi siapapun yang datang dengan suhu 37,5. Ini yang digunakan adalah thermal scan,” ujarnya.
Untuk diketahui, Yuri menyampaikan bahwa thermal scan hanya sebagai scanner awal, setelah yang bersangkutan masuk dan kemudian ditemukan suhunya tinggi pasti akan ada tindak lanjut dari mekanisme kekarantinaan.
”Bahkan tidak menutup kemungkinan untuk kita minta untuk kembali lagi ke negara yang asalnya. Jadi, tidak dipertahankan di situ. Ini yang jadi standar untuk menjadi bandara,” katanya.
Terkait dengan perubahan pola Covid-19 pada second wave, menurut Yuri, ternyata banyak sekali kasus yang tanda klinisnya ringan yang kemudian seringkali ada flu ringan dan minum obat, suhunya normal atau beberapa kasus tanpa gejala, sehingga betul-betul tidak ada tanda apapun yang didapatkan.
“Inilah yang kemudian kita lanjutkan dengan memberikan kartu kewaspadaan kesehatan. Karena tidak mungkin kemudian setiap yang datang kita berhentikan, kemudian kita ambil ke pusat dari nasofaring atau orofaring untuk diperiksa,” imbuh Sesditjen P2P.
Proses ini, menurut Sesditjen P2P, bisa dibayangkan kalau misalnya dengan metode pemeriksaan cepat Implementation Completion Report (ICR) membutuhkan 24 jam, berapa lama yang bersangkutan akan tertahan di bandara.
”Ini yang menjadi permasalahan. Oleh karena itu, kita tidak terlalu berlebihan dan standar di seluruh dunia pun juga tidak melakukan seperti itu,” imbuhnya seraya menyampaikan bahwa proses pemantauan dilaksanakan dengan dua mekanisme, yaitu karantina pintu masuk dan karantina wilayah.
Soal Kejadian Luar Biasa (KLB) dan pandemi atau wabah, Sesditjen P2P menjelaskan bahwa KLB itu ukurannya secara normatif hanya dikatakan peningkatan jumlah kasus 2 kali lipat dibandingkan dengan periode yang sama sebelumnya, maka disebut dengan KLB, itu untuk emerging disease.
”Untuk new emerging diseases, kasus yang semula yang enggak ada menjadi ada itu KLB. Penanganannya adalah otoritas kesehatan setempat, karena pernyataan KLB adalah pernyataan oleh kepala daerah. Sementara kalau wabah, pandemi itu pernyataannya harus dikeluarkan oleh menteri, setingkat menteri atau ke atas lebih tinggi,” urai Yuri.
Kalau diperhatikan dalam sisi pembiayaan, Yuri menjelaskan jikalau berbicara pandemi, berbicara wabah, ada acuan aturan di Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Bencana.
”Dan ini masuk di dalam konteks bencana non-alam. Ada bencana alam, non-alam, dan sosial,” pungkasnya.