Oleh: Suherman
Mahasiswa UMRAH, Fakultas Hukum
Nemo Punitur Pro alieno Delicto (tidak ada seorang pun yang dihukum karena perbuatan orang lain). Berdasarkan Prinsip hukum pidana tersebut dapatlah dipahami bahwa siapa yang berbuat maka dialah yang akan bertanggungjawab.
Orang yang belajar hukum di semester 3 tentulah telah mengenal pembagian dalam hukum pidana, salah satunya adalah pembagian hukum pidana berdasarkan adresat.
Adresat adalah subjek hukum yang ditujukan oleh suatu peraturan perundang-undangan. Adresat hukum pidana ditujukan kepada orang orang tertentu.
Mereka yang memiliki profesi sebagai seorang militer, jika melakukan pelanggaran hukum pidana, diadili berdasarkan Kitab Undang Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) dan Pengadilan yang mengadili pun adalah pengadilan militer.
Telah jelas bahwa didalam UUD 1945 kemiliteran Negara kita khususnya TNI diatur dalam Pasal 30 ayat 3 bahwa Tentara Negara Indonesia sebagai alat Negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan Negara.
Tugas tersebut diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia.
Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, profesi TNI tidak terlepas dari regulasi aturan kode etik disiplin militer mengaturnya.
Hal tersebut merupakan syarat mutlak dalam tata kehidupan sebagai militer untuk dibina dan dikembangkan berdasarkan kepentingan penyelenggaran pertahanan Negara.
Oleh karena itu lahirlah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 Tentang Hukum Disiplin Militer.
Seperti yang telah kita saksikan secara bersama berita tranding topic di media massa, pencopotan jabatan Struktural dilingkungan TNI. Selain itu pengenakan sanksi kurungan selama 14 hari dikarenakan istri istri oknum TNI diduga melakukan pelanggaran etik dengan dugaan membuat suatu tulisan di media sosialnya yang bernada menyindir dari musibah yang menimpa Menteri Politik Hukum dan Ham.
Namun yang menarik dalam ilmu hukum, terkait kasus ini adalah pertanggungjawaban dalam melakukan perbuatan.
Timbul suatu pertanyaan, bolehkah orang lain melakukan perbuatan tetapi yang bertanggungjawab diluar dari yang melakukan perbuatan?
Jawabannya tergantung jenis klasifikasi hukumnya, seperti dalam hukum Perdata Pasal 1367 seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang orang yang menjadi tanggungannya atau disebabbkan barang-barang yang berada dibawah pengawasannya.
Ketentuan tersebut dalam konteks teori disebut dengan Vicarius Liability (pertanggungjawaban pengganti).
Lantas bagaimana dalam hukum pidana militer? Untuk menjawab nya maka kita kembali kepada objek ilmu hukum pidana yaitu keseluruhan hukum tertulis yang berhubungan dengan kelakuan kelakuan yang dapat dipidana dan sanksi–sanksi (Eddy Os, 2016; 11)
Adapun hukum tertulis tersebut adalah Undang-undang nomor 25 tahun 2014 tentang hukum disiplin militer, yang mana ruang lingkup pengenakan sanksi aturan ini termuat dalam BAB III Pasal 6 Hukum disiplin militer berlaku bagi militer yakni setiap orang yang undang-undang dipersamakan dengan militer.
Yang dimaksud dengan “setiap orang yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan militer” antara lain : Prajurit, siswa Militer Tituler, Warga Negara yang dimobilisasi karena keahliannya pada waktu perang dan terakhir Tawanan Perang.
Penegasan yang bisa dikenakan sanksi disiplin adalah 4 subjek yang telah disebutkan yang melakukan perbuatan.
Lantas bagaimana dengan istri-istri TNI? Pertama, tidak ada dasar hukum militer yang mengatur bahwa kesalahan istri adalah tanggungjawab suami. Termasuk kesalahan yang ketentuannya diatur oleh undang-undang ITE. Artinya siapa yang berbuat dia bertanggung jawab.
Kedua, jika ingin dipaksakan bahwa kesalahan istri adalah tanggungjawab suami, pertanyaannya bagaimana dengan kesalahan ketika ada terjadi kasus perzinahan atau perselingkuhan yang dilakukan istri. Apakah itu salah suami atau istri dan apakah masih suami juga yang menanggung kesalahan tersebut dan dikenakan sanksi disiplin?
Tentulah sang istri yang harus menanggung akibat perbuatan bukan suaminya.
Pencopotan Dandim Kendari yang dituduh melanggar Sapta Marga di TNI dengan dasar hukum Pasal 8 a dan pasal 9 UU No 25/2014 sangatlah tidak relevan.
Pasal 8 a berbunyi “ segala perbuatan yang bertentangan dengan perintah kedinasan, peraturan kedinasan, atau perbuatan yang tidak sesuai dengan tata tertib militer” dalam penafsiran otentik pasal ini dinyatakan cukup jelas.
Tetapi coba tafsirkan dengan menggunakan inteprestasi gramatik yaitu makna undang-undang yang ditafsirkan dengan cara menguraikannya.
Menurut bahasa umum sehari-hari (Sudikno,2001; 57) Frasa “segala perbuatan yang bertentangan dengan perintah kedinasan” Frasa tersebut ditujukan untuk anggota militer sendiri yang melakukan perbuatan melanggar perintah dinas.
Artinya di dalam undang-undang aquo tidak ada satu pun rumusan pasal kesalahan istri adalah tanggungjawab dari suami. Tegasnya sangatlah tidak profesional jika dikaitkan demikian dengan dasar hukum yang obscure libel.
Oleh karena itu tindakan yang diambil sejatinya lebih memperlihatkan logika kekuasaan daripada logika yuridis.
Dimana logika yuridis ditabrak dalam kasus ini. Pertama, tidak dijalankannya asas praduga tak bersalah, langsung menghukum. Kedua tidak ada pemeriksaan sidang etik. Ketiga, peran Dari Dewan Pertimbangan dan Pengawasan Disiplin Militer tidak terlihat dari kasus ini.
Padahal ia mempunyai tugas pengawasan dan pelaksanaan penegakan hukum disiplin militer (lihat pasal 1 ayat 16 UU no 25/2014).
Dan sangatlah berlebihan ketika sang Jenderal dalam konfersi persnya mengatakan akan membawa kasus ini ke peradilan umum bagi istri dari mantan Dandim tersebut.
Sejatinya ini merupakan bentuk subjektif pribadi dari sang jenderal bukan atas nama instansi TNI, karena yang mempunyai legal standing dalam membawa perkara ini ke peradilan umum adalah orang yang merasa dirugikan dalam cuitan status di media sosial dalam hal ini sang Menteri.
Sebagai penutup penulis teringat apa yang dikemukan oleh Guru Besar Hukum Pidana UGM, Prof Eddy O.S. Beliau mengatakan, Jika kekuasaan penegakan hukum tidak dibarengi kapasitas memadai aparatnya, maka atas nama hukum kekuasaan cenderung disalahgunakan.