Dalam berbagai pemeringkatan global, perguruan tinggi terbaik Indonesia masih tertahan di lapis bawah. Bahkan universitas yang paling mapan—dengan sumber daya besar, sejarah panjang, dan status badan hukum—belum mampu secara konsisten menembus jajaran 100 besar dunia. Capaian ini tentu patut diapresiasi dalam konteks nasional, tetapi terasa kontras ketika dibandingkan dengan National University of Singapore (NUS) dan Nanyang Technological University (NTU), dua universitas Asia Tenggara yang telah lama mengukuhkan diri sebagai pemain global.
Perbandingan ini menjadi semakin relevan karena Indonesia sesungguhnya tidak kekurangan modal dasar. Jumlah penduduk jauh lebih besar, keragaman keilmuan luas, dan kebutuhan riset nasional sangat nyata. Namun NUS dan NTU melesat jauh—bukan hanya dalam peringkat, tetapi dalam reputasi akademik, jejaring global, inovasi riset, serta daya tarik talenta internasional. Perbedaan ini terlalu besar untuk dijelaskan semata-mata oleh faktor pendanaan atau usia institusi.
Pertanyaan mendasarnya adalah: apa pembeda struktural yang membuat universitas di Indonesia tertinggal, sementara NUS dan NTU melaju cepat?
Jawabannya terletak pada kelembagaan strategis dan tata kelola yang menghidupkan kelembagaan tersebut.
Kelembagaan Strategis sebagai Fondasi Keunggulan
Keunggulan NUS dan NTU tidak lahir dari keajaiban kebijakan, melainkan dari desain tata kelola yang konsisten. Kedua universitas tersebut memiliki dewan universitas yang berfungsi sebagai governing authority sejati—lembaga yang memegang mandat strategis jangka panjang, menjaga keberlanjutan visi lintas kepemimpinan, dan menjadi penyangga antara negara dan manajemen universitas.
Indonesia sejatinya juga memiliki perangkat kelembagaan serupa: Majelis Wali Amanat (MWA) pada PTN-BH, Dewan Pengawas atau Dewan Pertimbangan pada PTN-BLU dan PTN Satker, serta Senat Universitas. Namun perbedaannya terletak bukan pada keberadaan struktur, melainkan pada fungsi, kewenangan, dan relasi antarorgan yang belum bekerja secara strategis dan terpadu.
Di sinilah problem tata kelola universitas Indonesia bermula.
Rektor-Sentrisme: Gejala Sistemik, Bukan Persoalan Figur
Dalam praktik, pengembangan strategis perguruan tinggi di Indonesia kerap tampak sangat rektor-sentris. Visi, program unggulan, arah internasionalisasi, hingga jejaring global sering melekat pada figur rektor yang sedang menjabat. Pergantian kepemimpinan hampir selalu diikuti perubahan prioritas strategis, seolah strategi universitas berumur sama dengan masa jabatan rektor.
Namun rektor-sentrisme ini sesungguhnya bukan akar masalah, melainkan gejala dari kelembagaan strategis yang tidak tuntas dibangun. Ketika dewan universitas bersifat advisory, terfragmentasi, atau lebih administratif daripada strategis, maka beban arah jangka panjang secara alamiah jatuh ke pundak rektor. Bukan karena rektor ingin terlalu dominan, tetapi karena tidak ada lembaga lain yang benar-benar memegang mandat strategis institusional.
Di NUS dan NTU, presiden universitas juga figur yang kuat. Namun kekuatan itu dibingkai oleh tata kelola. Strategi tidak bergantung pada visi personal, melainkan pada konsensus kelembagaan yang dijaga oleh dewan. Presiden bertindak sebagai chief executive akademik, bukan sebagai satu-satunya penentu arah.
Terdapat 5 pembeda tata Kelola universitas yang membuat NUS dan NTU dengan cepat menjadi universitas berdaya saing global.
Pertama, Komposisi Keanggotaan: Representatif vs Strategis; Di Indonesia, komposisi MWA maupun Dewan Pertimbangan umumnya dibangun atas dasar representasi—pemerintah, internal kampus, tokoh daerah, atau figur publik. Model ini penting untuk legitimasi, tetapi lemah untuk kompetisi global. Sebaliknya, dewan universitas di NUS dan NTU disusun dengan logika strategic fit. Anggotanya adalah pemimpin industri global, ilmuwan kelas dunia, tokoh kebijakan strategis, dan filantrop pendidikan. Mereka tidak hadir sebagai wakil kepentingan, melainkan sebagai penjaga masa depan institusi.
Kedua, Kewenangan: Advisory vs Governing Authority; Dewan Pertimbangan di PTN Satker/BLU secara normatif hanya bersifat pemberi nasihat. MWA PTN-BH memang memiliki kewenangan lebih luas, tetapi dalam praktik sering tereduksi menjadi pengawas administratif. Di NUS dan NTU, dewan universitas adalah pemegang otoritas strategis: menetapkan arah jangka panjang, mengesahkan anggaran strategis, menunjuk dan mengevaluasi presiden universitas, serta menjaga keberlanjutan institusi lintas rezim kepemimpinan. Tanpa kewenangan nyata, dewan universitas tidak pernah benar-benar menjadi lokomotif perubahan.
Ketiga, Fragmentasi Kewenangan: Masalah Struktural Indonesia; Tata kelola universitas Indonesia ditandai oleh fragmentasi kewenangan. Senat mengurus akademik, MWA atau Dewan Pertimbangan memberi masukan atau persetujuan terbatas, sementara kementerian tetap memegang kendali regulatif yang kuat. Tidak ada satu entitas yang benar-benar memegang mandat strategis terpadu. Di NUS dan NTU, struktur ini disederhanakan. Dewan menjadi pusat arah strategis, manajemen bertanggung jawab pada eksekusi, dan Senat fokus pada mutu akademik. Akuntabilitas jelas, pengambilan keputusan cepat, dan konflik kewenangan minimal.
Keempat, Budaya Governance: Compliance vs Constructive Challenge; Di NUS dan NTU, budaya dewan adalah constructive challenge. Dewan secara aktif menantang asumsi pimpinan, mempertanyakan relevansi global strategi, dan mendorong lompatan institusional. Sebaliknya, budaya governance di banyak universitas Indonesia masih didominasi oleh kepatuhan prosedural. Fokusnya bukan pada keberanian strategis, melainkan pada keamanan administratif. Budaya ini menjaga stabilitas, tetapi jarang melahirkan keunggulan.
Kelima, Relasi Negara–Universitas: Trust vs Control; Semua pembeda di atas bermuara pada relasi negara dan universitas. Singapura membangun relasi berbasis kepercayaan dengan akuntabilitas. Negara menunjuk dewan strategis, tetapi tidak mencampuri keputusan mikro. Penilaian dilakukan berbasis outcome, bukan detail operasional. Di Indonesia, relasi ini masih didominasi oleh logika kontrol. Bahkan pada PTN-BH, negara tetap hadir dalam banyak aspek teknis. Dalam situasi seperti ini, dewan universitas sulit berkembang menjadi lembaga strategis yang mandiri dan berani.
Reformasi Kelembagaan sebagai Agenda Kunci
Jika Indonesia sungguh ingin memiliki universitas berkelas dunia, maka reformasi tidak cukup berhenti pada status hukum atau pembangunan fisik. Reformasi tata kelola kelembagaan—khususnya penguatan peran dewan universitas dan penataan ulang relasinya dengan Senat dan rektor—harus menjadi agenda utama.
MWA perlu bertransformasi menjadi true governing board. Dewan Pertimbangan dan Dewan Pengawas di PTN-BLU dan Satker perlu dikonsolidasikan dan diberi mandat strategis bertahap. Senat Universitas perlu dikembalikan sebagai otoritas akademik murni. Dan rektor perlu ditempatkan sebagai eksekutor strategi institusional, bukan pemikul seluruh beban arah universitas.
Penutup
Universitas kelas dunia tidak dibangun oleh figur rektor yang kuat semata, melainkan oleh sistem tata kelola yang membuat kepemimpinan menjadi berkelanjutan, strategis, dan berani. Selama dewan universitas di Indonesia lebih bersifat representatif daripada strategis, lebih advisory daripada governing, dan lebih patuh daripada menantang, maka ambisi global akan terus terdengar indah—tetapi sulit terwujud.
Pada akhirnya, pertanyaan tentang daya saing global universitas Indonesia adalah pertanyaan tentang siapa yang memegang kemudi, dan dengan mandat apa mereka mengarahkannya.
Artikel ini ditulis oleh : Prof. Dr. Indra Almanar & Ary Satia Dharma




