Back to the Future : Keberanian Menulis Masa Depan

Ary Satia Dharma, S.Sos, M.Si ( Kepala Biro Akademik, Perencanaan, Kemahasiswaan dan Kerjasama Universitas Maritim Raja Ali Haji; dan Ketua Forum Kepala Biro/Direktur Akademik, Kemahasiswaan, Perencanaan dan Kerjasama PTN Indonesia). f-dok/wartarakyat.co.id

Empat puluh tahun lalu, Back to the Future hadir bukan hanya sebagai film hiburan, tetapi sebagai peristiwa kultural. Disutradarai Robert Zemeckis, film ini sukses besar di box office dan segera menempati ruang istimewa dalam ingatan kolektif generasi 1980-an. Namun daya tahannya hingga hari ini bukan semata karena mobil DeLorean yang ikonik atau humor yang cerdas, melainkan karena pesan mendalam yang dibungkus dengan cara yang ringan dan menawan: bahwa masa depan bukan takdir yang jatuh dari langit, melainkan hasil dari pilihan-pilihan kecil yang kita buat hari ini.

Dengan latar tahun 1985, Marty McFly—remaja biasa dengan kegelisahan khas anak muda—bersama ilmuwan eksentrik Doctor Emmet Brown, terlempar ke tahun 1955. Premis perjalanan waktu ini menghasilkan rentetan adegan jenaka dan paradoks yang cerdas, namun di balik itu film ini sebenarnya sedang berbicara tentang relasi antargenerasi, keberanian personal, dan dampak sosial dari tindakan individual.

Salah satu adegan paling mengesankan adalah ketika Marty memainkan lagu Johnny B. Goode—lagu yang dalam sejarah musik baru dirilis Chuck Berry pada 1958—di panggung dansa sekolah tahun 1955. Adegan ini bukan sekadar lelucon anachronistic, tetapi metafora kuat tentang bagaimana gagasan dan keberanian sering kali “datang terlalu cepat” pada zamannya. Inovasi hampir selalu terdengar aneh sebelum akhirnya diterima.

Begitu pula ketika Marty mendorong ayahnya, George McFly, sosok pemalu dan tertindas, untuk berani mendekati Lorraine dengan kalimat “You are my destiny,” ungkapan romantik yang baru dipopulerkan Paul Anka dua tahun kemudian. Marty tidak hanya mengutak-atik waktu, ia sedang mengintervensi mentalitas: menggeser rasa takut menjadi keberanian, pasrah menjadi pilihan.

Puncaknya adalah ketika George McFly akhirnya melawan preman sekolah yang selama ini membully-nya. Adegan ini menjadi titik balik bukan hanya bagi karakter George, tetapi bagi seluruh masa depan keluarga McFly. Satu tindakan keberanian—sekali saja—mengubah arah hidup seseorang. Film ini dengan halus menyampaikan pesan yang sangat manusiawi: sering kali yang membelenggu masa depan kita bukan keadaan, melainkan ketakutan yang tak pernah kita lawan.

Ketika Marty kembali ke tahun 1985, dunia yang ia kenal berubah drastis. Ayahnya menjadi penulis sukses dan percaya diri. Ibunya lebih bahagia. Bahkan si mantan preman kini bersikap sopan dan penuh hormat. Ini bukan sekadar fantasi perjalanan waktu, melainkan alegori sosial tentang mobilitas, martabat, dan efek jangka panjang dari transformasi psikologis.

Namun pesan paling kuat justru datang di akhir trilogi. Setelah perjalanan ke tahun 2015 dan kembali ke 1985, Marty mendapati bahwa tulisan dalam surat pemecatannya—yang sebelumnya menjadi bayangan kelam masa depannya—kini menghilang, menjadi kertas kosong. Bingung, Marty bertanya kepada Doc Brown, “What does it mean, Doc?”
Jawaban Brown menjadi salah satu dialog paling berdaya dalam sejarah film populer: “It means your future has not been written yet. No one’s has. Your future is whatever you make it, so make it a good one.”

Kalimat ini menutup trilogi Back to the Future dengan kekuatan moral yang jarang dimiliki film hiburan. Ia menolak determinisme. Ia menolak kepasrahan. Ia menegaskan bahwa masa depan bukan garis lurus yang tak bisa dibelokkan, melainkan ruang terbuka yang menunggu keberanian dan tanggung jawab kita.

Empat puluh tahun kemudian, pesan itu justru terasa semakin relevan. Di tengah ketidakpastian ekonomi, kecemasan sosial, dan perubahan teknologi yang melaju cepat, kita sering tergoda menyalahkan zaman, sistem, atau nasib. Back to the Future mengingatkan kita dengan cara yang sederhana namun elegan: masa depan tidak datang begitu saja—ia dibentuk.

Dan barangkali, itulah sebabnya film ini terus hidup lintas generasi. Karena pada akhirnya, semua dari kita adalah Marty McFly—berdiri di persimpangan waktu, dengan satu pertanyaan yang sama: apakah kita berani mengubah hari ini, demi masa depan yang lebih baik?

 

Artikel ini ditulis oleh : Ary Satia Dharma, S.Sos, M.Si. ( Kepala Biro Akademik, Perencanaan, Kemahasiswaan dan Kerjasama Universitas Maritim Raja Ali Haji; dan Ketua Forum Kepala Biro/Direktur Akademik, Kemahasiswaan, Perencanaan dan Kerjasama PTN Indonesia).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses