“Kungfu Panda; The Power of Dream”

Ary Satia Dharma, S.Sos, M.Si ( Kepala Biro Akademik, Perencanaan, Kemahasiswaan dan Kerjasama Universitas Maritim Raja Ali Haji; dan Ketua Forum Kepala Biro/Direktur Akademik, Kemahasiswaan, Perencanaan dan Kerjasama PTN Indonesia). f-dok

Master Oogway mengumumkan di depan khalayak ramai bahwa  Po, si panda gempal yang bahkan kesulitan menaiki tangga—akan menjadi the next Dragon Warrior. Master Shifu dan para jagoan Kungfu yang menyaksikannya menahan heran, dan saling berpandangan. Sesuatu yang mustahil seolah baru saja diumumkan. Dan Po sendiri, yang bahkan datang ke Jade Palace hanya untuk melihat para jagoan bertanding, tak pernah membayangkan dirinya ditunjuk menjadi pusat takdir.

“Bagaimana mungkin saya melatih panda ini menjadi the next Dragon Warrior? bahkan melakukan split pun ia tak mampu” demikian keraguan Shifu sang guru Kungfu kepada Master Oogway yang telah menetapkan visinya. Oogway menjawab dengan kalimat yang sederhana, nyaris seperti mantra: “You just have to believe it. Then you’ll find the way.”

Keraguan yang samapun dirasakan si Panda Po. Menjadi Dragon Warrior hanya mampu terwujud dalam mimpi-mimpinya. Di lain sisi,  tak dapat dipungkiri ia penuh potensi, penuh passion, dan  memiliki sesuatu yang tidak dimiliki para jagoan kungfu lainnya—antusiasme yang jujur. Demikianlah secuplik kisah film animasi Kungfu Panda yang banyak mengangkat wisdom of  eastern.

Visi besar memang hampir selalu lahir dalam ketidakyakinan. Visi, pada awalnya, lebih mirip lelucon daripada rencana. Lebih mirip mimpi daripada dokumen strategis. Dan mungkin justru di situlah kekuatannya.

Di dunia manajemen modern, kita mengenal momen seperti itu sebagai fase “shock of vision”: ketika pemimpin menetapkan tujuan jauh di luar jangkauan kondisi objektif organisasi. Dalam konteks itulah, akan mengundang banyak keraguan ketika Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) yang baru berusia 18 tahun —sebuah universitas belia, kecil, dan kerap tidak diperhitungkan—menetapkan visinya menjadi “pusat kecemerlangan pendidikan tinggi, riset, mari-sociopreneurship, dan tamadun maritim Asia Tenggara pada tahun 2040”.  Bukan tidak mungkin di ruang-ruang rapat atau koridor kampus, ada senyum yang sulit ditahan. Ada lirikan skeptis. Ada gumam dari warga kampus: bukankah kita masih terlalu kecil? Masih belum apa-apa?Mengapa harus bermimpi setinggi bulan ? Bukannya nanti malah jadi bulan-bulanan ? Begitulah kira-kira keraguan yang mungkin muncul dari  para pimpinan dan anggota organisasi yang melihat realitas terlalu dekat, sehingga lupa menengok masa depan.

Betapapun kecilnya, setiap organisasi punya peluang yang sama untuk mewujudkan visinya. Ia hanya perlu memiliki tekad yang kuat seperti si Panda Po. Ia tidak memulai dari kompetensi, tetapi dari hasrat. Demikian juga UMRAH, walau dengan segala keterbatasannya, jika memiliki keinginan tulus untuk tumbuh dan menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar catatan kaki dalam peta pendidikan nasional, tentu akan mampun merealisasikan visinya.

“You just have to believe it. Then you’ll find the way.” Sebuah kalimat yang seakan ditujukan bukan hanya kepada Master Shifu, tetapi kepada seluruh pimpinan dan anggota organisasi yang sedang mencoba berubah. Kepada para dosen yang menunggu fasilitas lengkap. Kepada pejabat kampus yang masih berkutat dengan birokrasi. Kepada mahasiswa yang mencari identitas akademik. Kepada universitas yang tengah tumbuh, namun belum cukup percaya diri untuk menyebut dirinya calon pusat kecemerlangan.

Kita sering lupa, dalam manajemen, bahwa organisasi tidak dibangun hanya oleh kecanggihan strategi, melainkan oleh energi emosional dan psikologis kolektif. Sesuatu yang oleh para ahli disebut sebagai belief system. Bahwa keyakinan adalah bahan bakar perubahan. Tanpa itu, rencana strategis hanya menjadi tumpukan dokumen yang rapi. Dengan itu, kekurangan dapat menjadi sumber kreativitas.

Ketika seluruh pimpinan dan anggota organisasi percaya dengan visi oragnisasinya, maka organisasi akan menemukan jalannya. Para pimpinan akan memahami sesuatu yang lebih mendasar daripada teknik manajemen: “Organisasi tidak hanya dapat tumbuh karena tekanan. Organisasi juga tumbuh karena keyakinan. Sebuah prinsip yang sering hilang dalam rutinitas manajemen.

Maka Ketika ada yang meragukan apakah UMRAH mampu menjadi pusat kecemerlangan Asia Tenggara tahun 2040 ? Tentunya keraguan itu tidak dapat dijawab hanya dengan grafik, indikator akreditasi, jumlah guru besar, atau reputasi yang masih jauh di bawah universitas-universitas besar seperti UI, UGM, IPB, ITB, ITS atau Universitas Hasanuddin. Keraguan  itu justru hanya bisa dijawab dengan sebuah bentuk keberanian awal: percaya bahwa visi itu akan terwujud.

Sebab sejarah tidak pernah berpihak pada yang besar, tetapi pada yang berani bermimpi.
Gojek lahir ketika orang yakin ojek online adalah ide bodoh. Korea Selatan menjadi pusat teknologi ketika industri mereka dianggap pinggiran. Singapura pernah dicemooh ketika menyebut dirinya “masa depan Asia”.

Visi besar selalu tampak konyol pada awalnya, justru karena ia adalah visi. Maka barangkali, Ketika pimpinan organisasi kecil seperti UMRAH berani bermimpi bahwa universitas kecil di perbatasan ini akan menjadi pusat tamadun maritim Asia Tenggara, kita sedang menyaksikan momen “Master Oogway” dalam versi realitas. Sebuah momen ketika realitas dan harapan saling bertubrukan. Di titik seperti itu, biasanya orang terbelah menjadi dua:
yang melihat realitas masa depan, dan yang melihat kemustahilan.

Di film Kungfu Panda itu, Master Oogway tidak menunggu si panda Po menjadi sempurna untuk menetapkan visinya. Ia menetapkan visi terlebih dulu, baru organisasi bergerak mencapainya. Inilah prinsip kuno yang sering dilupakan birokrasi modern: “Visi bukan reaksi atas kondisi. Visi adalah undangan untuk mengubah kondisi.”

Organisasi kecil yang hari ini  belum diperhitungkan, justru perlu visi yang mengguncang. Sebab transformasi tidak pernah terjadi tanpa guncangan. Ketika pimpinan dan anggota organisasi mulai percaya dengan visinya, sesuatu dalam organisasi itu bergerak. Teknik muncul. Metode terbentuk. Sumber daya ditemukan. Cara-cara baru lahir. Bahkan batas-batas diri pun bergeser. Begitulah organisasi bergerak dari imajinasi menuju kenyataan: dari believing, menuju becoming.

Takdir, dalam pengertian paling sederhana, adalah ketika orang atau organisasi berani percaya pada masa depan yang belum terlihat. Seperti kata Oogway, yang mungkin juga menjadi bisikan bagi kita semua: “If you only do what you can do, you’ll never be more than you are now.”

Dan barangkali, ketika seluruh pimpinan dan anggota organisasi memutuskan untuk percaya—benar-benar percaya—maka jalan itu, langkah demi langkah, akan ditemukan. Karena visi besar tidak pernah menunggu kesiapan. Visi besar justru menciptakan kesiapan itu.

 

Artikel ini Ditulis Oleh : Ary Satia Dharma

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses