Di Timur Matahari

Ary Satia Dharma, S.Sos, M.Si,

SETIAP kali membaca dan menyaksikan fakta kurangnya tenaga pendidik (guru) di daerah terpencil, saya selalu terkenang dengan sinetron berjudul “Di Timur Matahari” yang pernah tayang di TVRI tahun 1980-an. Sinetron yang sederhana, nyaris tanpa warna-warna dramatis yang berlebihan, namun menyisakan gema yang begitu panjang—setidaknya bagi saya.

Seorang narapidana (diperankan aktor hebat Cok Simbara) yang melarikan diri dari Lembaga Permasyarakatan, tersesat di sebuah dusun yang jauh dari keramaian. Di sana, orang tak terlalu peduli pada masa lalu; mereka lebih sibuk bertahan hidup. Pria itu diterima apa adanya. Ia mulai mendidik dan membagi ilmu pengetahuan kepada anak-anak dusun, bukan karena diminta, tetapi karena itulah satu-satunya ‘mata uang’ yang dapat ia berikan untuk membalas kebaikan warga dusun. Perlahan, wajahnya yang dulu keruh berubah menjadi lebih jernih. Dalam tatapan anak-anak yang memanggilnya “guru”, ia menemukan kembali sesuatu yang telah lama hilang: harga dirinya sebagai manusia.

Hingga suatu hari, suara motor polisi mengusik ketenangan itu. Mereka menjemputnya. Ia tak melawan. Warga dusun terpana, diam, seakan memahami sesuatu yang tak bisa mereka hentikan. Anak-anak menangis, seakan kehilangan cahaya kecil dalam kegelapan.
Saya menyaksikan adegan itu dengan rasa getir: seolah ada sesuatu yang benar tapi terasa salah—atau sesuatu yang salah tapi terasa terlalu benar untuk diubah.

Dalam bayangan saya, alangkah indahnya jika polisi dalam cerita itu cukup bijaksana untuk membiarkan sang narapidana tetap tinggal. Tetap menjadi guru bagi dusun terpencil yang nyaris tak tersentuh negara. Bukankah negara—melalui sekolah, melalui guru—seharusnya hadir di tempat-tempat seperti itu? Dan ketika seorang manusia yang pernah tersesat justru menemukan panggilan hidupnya di sana, tidakkah itu sebuah kebaikan yang layak dihargai?

Tentu saja, itu hanya imajinasi yang mungkin terlalu lemah, atau terlalu naif, untuk berhadapan dengan kenyataan. Polisi tentunya bekerja dengan prosedur operasi baku yang ketat. Ada aturan yang harus diikuti. Ada rantai komando yang mengikat. Penegakan hukum berjalan dengan parameter-parameter yang telah ditetapkan.

Namun kita juga tahu bahwa hukum berdiri di atas lebih dari sekadar kepastian hukum. Ada asas keadilan yang selalu dicari, dan ada asas utilitas—kemanfaatan—yang kadang dilupakan. Dalam bingkai itu, sulit menepis pikiran bahwa akan jauh lebih berguna bila sang narapidana tetap menjadi pendidik di dusun terpencil itu, ketimbang kembali mendekam di balik jeruji. Ia berubah, dan perubahan itu membawa cahaya bagi orang-orang kecil yang selalu kekurangan.

Tapi imajinasi kita, sebagaimana hal baik lainnya, sering berhenti pada batas yang tak tampak.

Pada akhirnya, mungkin bukan tentang benar atau salahnya tindakan polisi, bukan pula tentang apakah sinetron itu masuk akal secara hukum. Yang tertinggal justru sesuatu yang lebih lirih: pertanyaan tentang bagaimana negara seharusnya hadir. Tentang bagaimana manusia bisa berubah ketika diberi kesempatan. Tentang bagaimana sebuah dusun kecil kadang lebih tahu apa arti kemanusiaan, ketimbang undang-undang yang dibacakan dalam ruang berpendingin.

Dalam perenungan tersebut, Tiba-tiba muncul bisikan Sang Guru:
“Apakah kita sudah cukup memberi ruang bagi kebaikan yang muncul dari tempat-tempat yang tak kita duga?”

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses