Makna Pahlawan di Zaman Kita

Ary Satia Dharma, S.Sos, M.Si,

TANJUNGPINANG | WARTA RAKYAT – Setiap tahun, pada tanggal 10 November, bangsa Indonesia mengenang Hari Pahlawan dengan berbagai upacara, tabur bunga, dan kegiatan seremonial lainnya. Namun di balik bendera yang dikibarkan setengah tiang dan pidato-pidato penghormatan, ada satu pertanyaan yang seharusnya menggugah nurani kita semua: apakah kita masih memahami makna kepahlawanan itu sendiri?

Sering kali, pahlawan kita tempatkan sebagai figur masa lalu — sosok yang berperang dengan senjata, menumpahkan darah, dan gugur di medan laga. Kita hafal nama-nama besar seperti Kapten Pattimura, Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, dan Pangeran Imam Bonjol. Kita mengagumi kisah perjuangan mereka, tetapi jarang menyadari bahwa pada zamannya, mereka bukanlah pahlawan di mata penguasa kolonial.

Kapten Pattimura dianggap pemberontak. Pangeran Imam Bonjol dipandang pengacau keamanan. Cut Nyak Dien disebut ancaman bagi stabilitas pemerintahan Hindia Belanda. Artinya, tidak ada sosok pahlawan yang bersifat universal. Kepahlawanan selalu lahir dari konteks, dari keberpihakan pada nilai yang diyakini benar, sekalipun itu menentang arus kekuasaan yang mapan.

Namun di atas segala perbedaan persepsi itu, ada satu hal yang bersifat universal: pahlawan adalah mereka yang rela mengorbankan dirinya demi kemaslahatan orang banyak. Mereka menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, memilih jalan sulit demi terjaganya martabat manusia dan kelangsungan nilai-nilai kemanusiaan.

Itulah esensi yang membuat mereka dikenang lintas zaman. Karena hakikat pahlawan tidak terletak pada atribut, pangkat, atau pengakuan negara, melainkan pada keikhlasan berbuat dan keberanian mengambil risiko demi kebaikan bersama.

Sayangnya, dalam kehidupan berbangsa hari ini, semangat kepahlawanan sering kali memudar di tengah arus pragmatisme. Kita hidup di masa ketika keberanian sering digantikan kepatuhan, dan pengorbanan digantikan oleh kepentingan pribadi. Banyak orang menginginkan perubahan, tetapi sedikit yang bersedia menanggung risiko untuk memperjuangkannya.

Padahal, bentuk kepahlawanan di zaman modern tidak lagi harus diwujudkan di medan perang. Ia dapat tampil dalam bentuk yang sederhana namun bermakna: seorang guru yang tetap mengajar di pelosok dengan gaji yang jauh dari kata layak; seorang petani yang dengan sabar menanam demi keberlanjutan pangan bangsa; seorang tenaga kesehatan yang tetap semangat memberikan pelayanan, walau dengan risiko kehilangan nyawa  di masa pandemi; atau seorang pemuda yang mengabdikan kreativitas dan pengetahuannya untuk memecahkan masalah sosial di sekitarnya.

Pahlawan juga bisa hadir di tengah birokrasi — mereka yang tetap jujur di tengah sistem yang godaannya begitu besar, yang memilih melayani dengan hati, bukan mengejar keuntungan pribadi. Mereka mungkin tak dikenal publik, tak mendapat tanda jasa, tetapi tanpa mereka, negeri ini tidak akan mampu melangkah jauh.

Dalam konteks globalisasi dan teknologi hari ini, kepahlawanan pun bisa berarti keberanian menjaga nilai kemanusiaan di tengah derasnya arus disrupsi. Saat informasi melimpah, hoaks dan ujaran kebencian mudah menyebar, pahlawan adalah mereka yang memilih menyebarkan kebenaran dan menegakkan keadaban digital. Saat konsumerisme dan egoisme menjadi budaya, pahlawan adalah mereka yang tetap berbagi dan peduli terhadap sesama.

Bangsa ini memerlukan lebih banyak tindakan kepahlawanan dalam arti yang demikian — bukan yang melakukan tindakan kepahlawanan dengan niat  untuk dikenang,.

Hari Pahlawan seharusnya menjadi momentum untuk menyalakan kembali semangat pengorbanan itu di hati setiap anak bangsa. Semangat untuk berbuat, bukan sekadar mengenang. Semangat untuk memberi makna pada profesi dan peran masing-masing.

Di tengah berbagai tantangan bangsa — kemiskinan, ketimpangan sosial, krisis lingkungan, dan degradasi moral — dibutuhkan lebih banyak tindakan kecil yang berani, tulus, dan konsisten. Tidak semua dari kita punya kapasitas untuk berbuat layaknya Bung Karno atau Bung Hatta, tetapi setiap kita bisa menyalakan nyala kecil kepahlawanan di lingkungan kita. Kata kuncinya kesediaan mengorbankan kenyamanan diri demi  kenyamanan orang ramai.

Di era yang serba cepat dan serba instan, kita memerlukan pahlawan yang sabar membangun dari bawah, yang percaya pada kekuatan proses dan kerja kolektif. Kepahlawanan saat ini bukan lagi tentang siapa yang paling gagah, tetapi siapa yang paling peduli dan bertanggung jawab terhadap sesama.

Sebagaimana api perjuangan 10 November di Surabaya tidak pernah padam, demikian pula semangat kepahlawanan seharusnya terus menyala dalam setiap tindakan kecil yang kita lakukan. Sebab bangsa yang besar bukanlah bangsa yang sekadar mengenang para pahlawannya, melainkan bangsa yang mampu melahirkan generasi penerus dengan tindakan-tindakan kepahlawanan tanpa harapan untuk dikenang. .

Hari Pahlawan bukan hanya waktu untuk mengingat masa lalu, tetapi juga saat untuk meneguhkan komitmen masa depan. Kita semua dipanggil menjadi pahlawan — di rumah, di tempat kerja, di ruang publik, di dunia maya, dan di hati kita sendiri.

Karena pahlawan sejati tidak menunggu pengakuan, tidak meminta penghargaan. Ia hadir dalam keheningan, bekerja dengan ketulusan, dan pergi tanpa meninggalkan pamrih — namun bekas langkahnya akan selalu dikenang oleh sejarah bangsa.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses