TANJUNGPINANG | WARTA RAKYAT– Film klasik Dead Poets Society (1989) karya Peter Weir yang menyabet Academy Award untuk kategori Film Terbaik dan Sutradara Terbaik, memang layak dipuji karena kekuatannya menggugat sistem pendidikan yang kaku dan otoriter. Tokoh John Keating (Robin Williams), hadir sebagai guru sastra yang tidak hanya mengajarkan teknik menulis dan membaca puisi, tetapi juga menanamkan semangat kebebasan berpikir, keberanian mengekspresikan diri, berani melihat dunia dengan cara berbeda, dan makna mendalam dari ilmu pengetahuan.
Sekalipun dipenuhi dengan adegan dan dialog jenaka, film ini menyisakan tragedi di akhir cerita melalui tokoh Neil Perry, siswa berbakat yang ingin menekuni seni teater, tetapi dihalangi keras oleh ayahnya. Konflik dan tekanan yang berujung pada pilihan tragis.
Cerita diakhiri dengan hengkangnya guru Keating dari Welton Academy, karena dianggap bertanggungjawab atas tragedi yang menimpa Neil. Saat berpamitan di ruang kelas, murid-murid Keating berdiri di atas meja sambil berseru, “O Captain, My Captain.” Sebuah kalimat historis yang berasal dari puisi Walt Whitman untuk Abraham Lincoln, dan dalam film ini digunakan sebagai penghormatan kepada guru dan sebagai panggilan siswa kepada jiwanya sendiri. Karena setiap siswa sejatinya adalah “kapten” bagi perjalanan hidupnya. Dengan menyerukan “O Captain, My Captain,” siswa meneguhkan kepemimpinan diri: keberanian mengarahkan pilihan belajar, melawan rasa takut, dan menghidupkan motivasi batin.
John Keating tidak hanya mengajarkan ilmu sastra, tetapi memberikan ruh pada ilmu itu sendiri; “We don’t read and write poetry because it’s cute. We read and write poetry because we are members of the human race. And the human race is filled with passion. And medicine, law, business, engineering—these are noble pursuits and necessary to sustain life. But poetry, beauty, romance, love—these are what we stay alive for.” Lewat pesan ikoniknya, “Carpe Diem, seize the day, boys. Make your lives extraordinary,” Keating menekankan bahwa pendidikan sejati adalah tentang menemukan jati diri dan keberanian menjalani hidup bermakna.
Kisah yang dibangun lebih dari tiga dekade lalu ini tetap segar, menginspirasi, dan relevan untuk menjawab tantangan dunia pendidikan kita saat ini. Bukan sekadar tontonan, film ini adalah ajakan untuk merefleksikan kembali: “apa makna mendidik?”
Jauh-jauh hari sebelum film Dead Poet Society dibuat, Ki Hajar Dewantara sudah berpesan bahwa proses pendidikan adalah upaya pembentukan manusia seutuhnya. Artinya, ilmu pengetahuan tidak boleh dipisahkan dari dimensi kemanusiaan: rasa ingin tahu, empati, keberanian, cinta kasih dan keindahan (Nuri, 2016). Pendidikan juga harus menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya (Wiryopranoto, 2017).
Program Merdeka Belajar yang digulirkan pemerintah memang telah membuka ruang fleksibilitas dalam kurikulum, memberi kesempatan guru dan sekolah untuk lebih kreatif. Namun, ada pertanyaan besar yang layak direnungkan: apakah kebijakan ini sudah menghadirkan jiwa dalam proses belajar, ataukah masih berhenti pada fleksibilitas teknis semata?
Program pemerintah terbaru, Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), sesungguhnya merupakan upaya baik untuk mengembalikan ruh pendidikan. P5 dirancang agar siswa belajar lewat proyek lintas disiplin, mengasah gotong royong, kreativitas, bernalar kritis, dan kepedulian sosial. Namun, seperti yang sering terjadi, ada kendala pelaksanaan di lapangan. Beberapa sekolah menganggap P5 sebagai kegiatan tambahan formalitas, tanpa pendampingan yang cukup bagi guru untuk benar-benar merancang proyek bermakna. Akibatnya, tujuan luhur P5 bisa tereduksi menjadi sekadar “acara tahunan” yang kehilangan ruh.
Untuk menyelesaikan masalah ini dapat diambil beberapa langkah konkret. Pertama, memberikan pelatihan intensif dan pendampingan berkelanjutan bagi guru agar mampu mendesain P5 sesuai konteks lokal. Kedua, memperkuat kolaborasi sekolah dengan komunitas, dunia usaha, dan perguruan tinggi, sehingga proyek benar-benar menyentuh persoalan nyata di masyarakat. Ketiga, evaluasi P5 perlu difokuskan pada proses dan dampak pembelajaran, bukan sekadar produk akhir. Dengan cara ini, P5 dapat menjadi wahana menghadirkan pendidikan yang hidup, bukan sekadar kegiatan simbolis.
Selain itu, sekalipun kerangka P5 menekankan pentingnya keterlibatan orang tua, namun implementasinya di sekolah-sekolah belum selalu optimal. Masih ada sekolah yang menjadikan P5 sebagai urusan internal guru dan siswa. Padahal tanpa dukungan keluarga, potensi siswa dapat menjadi sia-sia, hanya karena ambisi orang tua yang kurang bijak. Untuk itu, sekolah perlu membangun forum komunikasi berkala dengan orang tua, sekaligus memberikan edukasi bahwa tujuan pendidikan adalah menuntun potensi anak, bukan memaksakan ambisi orang tua.
Film Dead Poets Society memberi pesan penting bagi dunia pendidikan Indonesia: jangan biarkan pendidikan kehilangan jiwa. Ilmu pengetahuan tanpa ruh hanya akan melahirkan generasi yang pandai secara teknis, tetapi kering makna. Oleh karenanya, keberhasilan sektor pendidikan hanya akan tercapai jika implementasi kebijakan tidak jatuh dalam rutinitas administratif, melainkan sungguh menghadirkan pengalaman belajar yang membebaskan—dengan guru sebagai penuntun, orang tua sebagai pendukung, dan siswa yang berani berseru: “O Captain, My Captain”—aku adalah pemimpin bagi diriku sendiri..
“Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu.
Mereka adalah putra putri kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri….
Engkau adalah busur, dan anak-anakmu adalah anak panah yang siap melesat jauh….
Biarlah kelenturanmu dalam tangan Sang Pemanah menjadi kegembiraan.
Sebab sebagaimana Ia mencintai anak panah yang melesat, demikian pula Ia mencintai busur yang teguh”. (Kahlil Gibran; Sang Nabi)
Ditulis Oleh: Ary Satia Dharma (Ka. Biro Akademik, Perencanaan, Kemahasiswaan dan Kerjasama UMRAH)