BINTAN | WARTA RAKYAT – Kesehatan hewan adalah fondasi penting dalam sistem ketahanan pangan, kesehatan masyarakat, dan kesejahteraan makhluk hidup di Indonesia.
Namun, realitas menunjukkan bahwa sektor ini masih jauh dari perhatian yang semestinya. Salah satu indikator utamanya adalah minimnya produk legislasi yang berpihak dan menyokong perkembangan sektor kesehatan hewan di Tanah Air.
Hingga kini, belum ada kejelasan terhadap pembentukan dan pengesahan berbagai rancangan undang-undang penting seperti RUU Praktik Kedokteran Hewan, RUU Pendidikan Kedokteran Hewan, dan RUU Perlindungan terhadap Hewan.
Ketiga RUU ini merupakan landasan hukum yang seharusnya menjadi prioritas, namun terbengkalai tanpa kejelasan di tangan legislatif.
Tak berhenti di situ, di tingkat pemerintah daerah, sektor kesehatan hewan pun masih dipandang sebagai “urusan pilihan”, bukan “urusan wajib”, sebagaimana urusan pendidikan, kesehatan manusia, dan pangan.
Padahal, tanpa hewan yang sehat, tidak mungkin ada pangan yang aman. Tanpa sistem kedokteran hewan yang kuat, ancaman zoonosis dan wabah lintas spesies menjadi lebih nyata.
Situasi ini menjadi lebih ironis ketika Presiden Prabowo Subianto, dalam pidatonya pada 31 Agustus 2025, meminta rakyat untuk memberikan masukan tentang apa saja yang diperlukan untuk membangun bangsa ke depan. Momentum ini semestinya dimanfaatkan oleh semua pihak, termasuk DPR RI dan pemerintah terkait, untuk mengevaluasi ulang prioritas nasional.
Karena saat rakyat ditanya, maka jawabannya seharusnya jelas: sektor kesehatan hewan butuh perhatian serius.
Minimnya Legislasi Terkait Kedokteran Hewan: Kegagalan Misi DPR RI
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), sebagai lembaga legislatif, memiliki fungsi utama dalam pembentukan undang-undang. Sayangnya, fungsi ini tidak terlihat berjalan optimal dalam konteks kesehatan hewan.
Hingga hari ini, tidak ada UU yang secara spesifik mengatur praktik kedokteran hewan di Indonesia secara komprehensif. Padahal, profesi dokter hewan memegang peranan penting dalam menjamin kesehatan masyarakat melalui pengawasan kesehatan hewan, pengendalian zoonosis, dan keamanan pangan asal hewan.
Ketika dokter, perawat, dan apoteker manusia memiliki UU tersendiri yang mengatur praktik profesinya, dokter hewan justru masih mengandalkan regulasi yang terfragmentasi dan tidak mengikat secara kuat. Ini menciptakan ketimpangan profesional, kebingungan dalam praktik di lapangan, dan berpotensi menurunkan standar pelayanan kesehatan hewan di Indonesia.
RUU Pendidikan Kedokteran Hewan pun tak kunjung dibahas, apalagi disahkan. Pendidikan kedokteran hewan di Indonesia masih berada dalam kerangka pendidikan tinggi umum, tanpa diferensiasi spesifik seperti halnya kedokteran manusia yang memiliki UU tersendiri.
Hal ini tentu berdampak pada pengembangan kurikulum, akreditasi, dan mutu lulusan yang dapat berimplikasi langsung pada kualitas pelayanan kesehatan hewan di masyarakat.
Terakhir, RUU Perlindungan Hewan juga belum mendapat tempat dalam prioritas legislasi nasional. Padahal isu kekerasan terhadap hewan, eksploitasi satwa, dan kurangnya standar perlakuan etis terhadap hewan masih menjadi persoalan kronis di banyak daerah.
Ketiadaan tiga RUU ini adalah cermin dari lemahnya komitmen DPR RI terhadap sektor yang justru menjadi pilar penting dalam sistem kesehatan nasional dan ekosistem hidup yang seimbang.
Urgensi Sektor Kesehatan Hewan: Bukan Lagi Sekadar Urusan Pinggiran
Salah satu kesalahan sistemik yang terus berulang adalah anggapan bahwa kesehatan hewan bukanlah bagian vital dari sistem pelayanan publik.
Padahal, kesehatan hewan bukan hanya soal hewan peliharaan atau peternakan, tetapi juga berkaitan erat dengan:
Pertama, Kesehatan Masyarakat.
Banyak penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia (zoonosis), seperti rabies, flu burung, antraks, hingga COVID-19 yang diduga berasal dari hewan liar. Pencegahan penyakit-penyakit ini memerlukan sistem kesehatan hewan yang kuat dan terintegrasi dengan sistem kesehatan manusia.
Kedua, Ketahanan Pangan
Produk hewan seperti daging, susu, dan telur adalah sumber protein hewani yang dibutuhkan untuk kecerdasan dan pertumbuhan masyarakat. Tanpa kesehatan hewan yang baik, maka produk pangan hewani menjadi tidak aman, bahkan berbahaya.
Ketiga, Ekonomi Nasional dan Perdagangan Internasional
Sektor peternakan menyumbang triliunan rupiah terhadap PDB Indonesia. Namun, penyakit hewan bisa memicu embargo perdagangan dari negara lain. Sebagai contoh, kasus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) bisa membuat Indonesia kehilangan pasar ekspor daging.
Keempat, Kesejahteraan Hewan dan Etika
Dunia internasional semakin menaruh perhatian pada isu kesejahteraan hewan. Tanpa UU yang mengatur perlindungan hewan, Indonesia dapat tertinggal secara etika dan moral dalam pergaulan global.
Maka jelas, sektor ini tidak bisa terus-menerus diperlakukan sebagai sektor marjinal.
Problem di Tingkat Pemerintah Daerah: Revisi UU Pemda adalah Keniscayaan
UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengelompokkan urusan kesehatan hewan ke dalam kategori urusan pilihan, bukan urusan wajib.
Ini berarti pemerintah daerah bisa memilih untuk tidak menyelenggarakan layanan kesehatan hewan jika tidak dianggap prioritas. Justru disinilah titik persoalannya.
Di banyak daerah, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan digabung atau bahkan dilebur menjadi subbagian kecil dari dinas yang lebih besar. Hal ini membuat layanan kesehatan hewan menjadi tidak optimal.
Akibatnya, dokter hewan minim jumlahnya, fasilitas laboratorium tidak memadai, pengawasan lalu lintas hewan lemah, dan vaksinasi tidak merata.
Revisi terhadap UU Pemerintahan Daerah menjadi penting agar sektor kesehatan hewan diakui sebagai urusan wajib, setara dengan pendidikan dan kesehatan manusia.
Tanpa revisi ini, kita akan terus melihat ketimpangan dan kesenjangan antara daerah satu dengan daerah lain dalam hal layanan dan pengawasan hewan.
Kinerja Legislasi DPR: Banyak Bicara, Minim Produk
Ketika DPR RI lebih sibuk dengan wacana-wacana kontroversial dan tak produktif, publik saat ini menuntut DPR untuk lebih fokus pada substansi legislasi yang dibutuhkan rakyat.
DPR memiliki fungsi utama untuk menyusun dan mengesahkan undang-undang. Namun, bila dilihat dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahunan, sangat jarang RUU yang berkaitan dengan hewan atau kedokteran hewan masuk prioritas. Artinya, bukan hanya eksekutif, legislatif juga belum melihat pentingnya sektor ini.
Evaluasi terhadap kinerja DPR RI bukan hanya berdasarkan kehadiran atau rapat-rapat seremonial, tapi pada output legislasi yang berpengaruh nyata bagi kehidupan masyarakat luas. Sayangnya, dalam hal kesehatan hewan, output itu nyaris nihil.
Momentum Perbaikan DPR dan Harapan Akan Perubahan
Presiden Prabowo dalam pidatonya juga menyampaikan ajakan kepada rakyat untuk memberikan masukan tentang hal-hal yang dibutuhkan bangsa ke depan. Ini adalah sinyal positif bahwa pemerintah ingin lebih terbuka dan partisipatif.
Namun, partisipasi rakyat hanya akan bermakna jika direspons serius oleh lembaga legislatif. DPR RI tidak bisa hanya jadi ruang debat, tapi harus mampu menjadi produsen kebijakan.
Masukan rakyat tentang pentingnya sektor kesehatan hewan harus diterima dan diterjemahkan ke dalam kebijakan konkret, termasuk pembentukan UU.
Momentum perubahan ada. DPR RI dan pemerintah harus menjadikan sektor kesehatan hewan sebagai prioritas dalam agenda pembangunan nasional. Kalau beberapa anggota DPR RI dipecat per 1 September 2025 dan tunjangan DPR RI bisa dievaluasi, mengapa urusan kesehatan hewan tidak? Semoga negeri ini segera bangkit, menjadi negara yang peduli terhadap persoalan kesehatan hewan. Semoga!
Oleh: drh. Iwan Berri Prima, M.M.
Kepala Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan, DKPP Kabupaten Bintan