TANJUNGPINANG | WARTA RAKYAT – Kabupaten Bintan sebagai wilayah kepulauan di Provinsi Kepulauan Riau menyimpan kerentanan bencana yang tidak bisa diabaikan, mulai dari abrasi pantai, banjir rob, hingga cuaca ekstrem akibat perubahan iklim global (BNPB, 2020). Dalam menghadapi risiko ini, masyarakat Bintan sejatinya telah lama mempraktikkan bentuk kearifan lokal yang berfungsi sebagai sistem peringatan dini, pengelolaan lingkungan, hingga mekanisme solidaritas sosial saat bencana terjadi (Rahman, 2017).
Kearifan lokal seperti tradisi “Doa Laut” yang dilakukan komunitas nelayan bukan hanya sarana spiritual, tetapi juga menjadi forum komunitas untuk membicarakan perubahan musim dan gelombang, yang secara tak langsung berfungsi sebagai mitigasi berbasis komunitas (Syahrul & Wahyuni, 2021). Pengetahuan tradisional ini umumnya diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi dan terbukti menjadi alat prediksi dini dalam menghadapi cuaca ekstrem di laut (Adrianto, 2016).
Selain itu, masyarakat adat di beberapa desa pesisir Bintan memiliki aturan tidak tertulis mengenai larangan menebang mangrove secara sembarangan, yang pada hakikatnya merupakan strategi perlindungan ekologis untuk mengurangi risiko abrasi dan banjir pesisir (Yuliani et al., 2019). Fungsi mangrove sebagai pelindung alami dari gelombang dan badai telah diakui secara ilmiah dan menjadi bagian penting dari strategi pengurangan risiko bencana ekosistem (Alongi, 2008).
Gotong royong atau “maras tahun” dalam perbaikan tanggul dan drainase desa juga menunjukkan bahwa kearifan lokal bukan hanya bersifat kultural tetapi juga berfungsi praktis dalam mitigasi struktural berbasis masyarakat (Nasruddin, 2015). Konsep ini sejalan dengan prinsip Community-Based Disaster Risk Reduction (CBDRR) yang menekankan pentingnya partisipasi lokal dalam merancang strategi PRB (IFRC, 2012).
Sayangnya, kebijakan formal penanggulangan bencana di tingkat daerah masih minim dalam mengintegrasikan praktik kearifan lokal ini secara sistematis. Padahal, UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana secara eksplisit mendorong pendekatan partisipatif dan berbasis kearifan lokal dalam setiap tahapan manajemen bencana (BNPB, 2021).
Untuk itu, diperlukan langkah konkret berupa: (i) pemetaan kearifan lokal PRB di seluruh desa pesisir, (ii) pelatihan mitigasi berbasis budaya lokal, serta (iii) integrasi tokoh adat dalam struktur kelembagaan seperti Forum PRB Kabupaten Bintan. Kolaborasi multipihak dengan pendekatan pentahelix (pemerintah, akademisi, masyarakat, bisnis, dan media) perlu digerakkan agar PRB berbasis kearifan lokal menjadi strategi utama, bukan sekadar pelengkap (Yustika & Nugroho, 2022).
Membangun ketahanan terhadap bencana tidak hanya soal teknologi dan infrastruktur, tetapi juga tentang bagaimana kita mengenali, menghargai, dan mengembangkan pengetahuan lokal sebagai fondasi kebijakan. Kabupaten Bintan memiliki semua itu—yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk menyandingkan kebijakan modern dengan tradisi leluhur yang telah lebih dulu memahami alam.
Ditulis oleh : Ary Satia Dharma, S.Sos, M.Si
(Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana Kab. Bintan)