Kebangkitan Nasional: Sebuah Nilai yang Tergerus

Ketua Forum Biro/Direktorat Akademik, Kemahasiswaan, Perencanaan dan Kerjasama PTN Indonesia .f-istimewa

Oleh: Ary Satia Dharma, S.Sos, M.Si (Kepala Biro Akademik, Perencanaan, Kemahasiswaan dan Kerjasama Universitas Maritim Raja Ali Haji/ UMRAH)

 

PADA suatu masa yang jauh, di awal abad yang lalu, segelintir anak muda memandang ke sekelilingnya dan melihat luka di wajah Ibu Pertiwi. Mereka menyaksikan rakyat—yang tak bersuara, yang diinjak, yang lapar. Dari penglihatan itu lahir keberanian. Dan dari keberanian itu, sejarah mencatat apa yang kita namakan sebagai Kebangkitan Nasional.

Kini, sejarah itu tinggal tanggal di kalender. Kita memperingatinya, seperti kita memperingati hujan pertama: tanpa benar-benar basah.

Yang sering kita lupakan adalah bahwa kebangkitan bukan perkara menentang penjajah semata, tapi juga menyingkap nurani. Para pemuda pada 1908 tak hanya membaca buku-buku Eropa, tapi membaca wajah-wajah di pasar, tubuh-tubuh kurus di ladang, anak-anak yang kehilangan masa depan bahkan sebelum mereka mampu mengucapkan “aku”.

Mereka, barangkali, tidak lebih pandai dari anak muda hari ini. Tapi mereka cukup jernih melihat penderitaan, dan cukup gelisah untuk tidak tinggal diam.

Hari ini, penderitaan belum punah. Bahkan telah bertransformasi menjadi lebih  kontemporer. Di negeri yang sama, di kampung-kampung kumuh, kita masih punya jutaan rakyat jelata yang hidup tanpa air bersih, tanpa dokter, tanpa guru, dan kerap kelaparan. Mereka masih ada—seperti dulu. Sementara itu, di lain tempat, di dalam sebuah keluarga yang berkecukupan, kita juga dihadapkan dengan ancaman lain yang lebih manakutkan: musuh yang tak berwarga negara,  tapi sangat menghancurkan.

Pemuda masa kini, jika hendak peduli, harus peduli pada lebih banyak luka: bukan hanya tentang kelaparan, tapi juga tentang ketergantungan pada zat yang mematikan, pada layar ponsel yang tak kunjung padam, pada game online yang membius dan pada mimpi palsu yang dijual oleh aplikasi judi online. Jika kecanduan hal-hal ini sudah terjangkit, jangankan untuk membangkitkan jiwa, membangkitkan badan dari ranjang pun akan terasa amat berat. Jangankan untuk peduli dan berempati kepada kepada orang lain, pada diri sendiri pun sudah tidak peduli.

Ironinya, seringkali korban dan pelaku berasal dari rakyat itu sendiri.

Bagaimana cara membela rakyat jika sebagian dari mereka mulai membunuh harapan mereka sendiri? Bagaimana merangkul mereka, ketika sebagian memilih pelarian, dan menolak diselamatkan?

Ini tantangan yang tak dihadapi oleh Soetomo dan kawan-kawannya.  Dulu, mereka berhadapan dengan kekuasaan asing. Kita berhadapan dengan kekosongan makna.

Kepedulian dan berempati hari ini menjadi kerja yang sunyi.. Ia tidak selalu melibatkan pidato, atau demonstrasi. Ia seringkali adalah keberanian untuk tinggal di lingkungan yang remuk, dan tetap menyalakan cahaya kecil. Ia adalah ketekunan yang tidak viral, yang tak selalu mendapat panggung.

Kita memang hidup dalam zaman yang membuat kepedulian dan empati jadi usang. Media sosial menggantikan pertemuan mata. Pendidikan kehilangan roh, berganti angka-angka. Kita diajari bersaing, bukan berbagi. Kita dituntut produktif, tapi bukan solutif.

Untungnya,  sepanjang sejarah, Ibu Pertiwi tidak pernah kehilangan momentum untuk melahirkan pemuda-pemuda baru yang tahu dan sadar bahwa peduli itu bukan sekadar perasaan. Ia adalah tindakan yang getir karena kerap kali harus mengorbankan kepentingan diri sendiri, dan karena itu hari ini ia menjadi sesuatu mahal.

Maka dari itu, mari kita berhenti meromantisasi Hari Kebangkitan Nasional, resapi nilai kepedulian dan empati yang dicontohkan para pejuang bangsa ke dalam ruh. Sekalipun zaman telah berubah, dan tantangan hari ini jauh lebih pelik, namun nilai kepedulian, empati dan pengorbanan tetap relevan untuk menjawab semua tantangan bangsa. Kita juga harus senantiasa percaya bahwa dalam kepahitan yang terdalam pun, selalu ada satu dua orang belia yang memilih untuk tetap peduli dan berempati dengan sesama. Mari kita bergabung dengan pergerakan mereka—meski tidak selalu riuh, meski tanpa tanda jasa.

Dan mungkin, dari situlah sejarah kembali dimulai.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses