Pentingnya Pangan yang ASUH dalam Pemotongan Hewan Kurban

drh. Iwan Berri Prima/ Kepala Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kabupaten Bintan. f-ist

Oleh : drh. Iwan Berri Prima (Kepala Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kabupaten Bintan)

 

PEMOTONGAN hewan kurban merupakan ibadah yang tidak hanya memiliki makna spiritual, tetapi juga berdampak besar terhadap aspek sosial dan kesehatan masyarakat.

Dalam konteks ini, prinsip Aman, Sehat, Utuh, dan Halal (ASUH) bukan sekadar jargon atau himbauan teknis, melainkan menjadi kebutuhan mendesak yang menyangkut keselamatan konsumen, keberlangsungan lingkungan, hingga keberterimaan sosial dan keagamaan.

Masyarakat Muslim di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, perlu menyadari bahwa kualitas ibadah kurban tidak hanya diukur dari niat dan pelaksanaan syariatnya, tetapi juga bagaimana daging kurban yang dihasilkan dapat memberi manfaat yang optimal dan tidak menimbulkan bahaya.

Aman: Prioritas Kesehatan Konsumen

Pangan yang aman berarti produk hewan yang dikonsumsi bebas dari kontaminan biologis, kimia, dan fisik yang dapat membahayakan kesehatan manusia.

Dalam konteks kurban, keamanan pangan dimulai jauh sebelum hari penyembelihan, yaitu dari proses pemeliharaan ternak, pemberian pakan, pengawasan kesehatan, hingga proses transportasi dan penanganan hewan menjelang disembelih.

Sering kali, dalam pelaksanaan kurban di masyarakat, hewan dipotong di tempat terbuka tanpa standar sanitasi yang memadai. Kontaminasi silang sangat mungkin terjadi, baik dari lingkungan, alat-alat potong, maupun dari manusia yang menangani daging.

Apalagi jika daging tidak segera disimpan dalam suhu yang sesuai, maka mikroorganisme patogen seperti Salmonella, Escherichia coli, dan Listeria dapat berkembang biak dan menimbulkan keracunan pangan.

Menurut WHO, penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne diseases) merupakan salah satu penyebab utama penyakit di dunia. Padahal, hal ini bisa dicegah dengan menerapkan prinsip keamanan pangan, mulai dari pemeriksaan ante-mortem (sebelum pemotongan) dan post-mortem (setelah pemotongan) oleh dokter hewan, hingga distribusi daging yang higienis. Tanpa kepatuhan terhadap prinsip “aman”, maka niat baik berkurban bisa berubah menjadi bumerang bagi kesehatan penerima daging.

Sehat: Tidak Cukup Hanya Bebas Penyakit

Daging yang sehat bukan hanya bebas dari kuman penyakit, tetapi juga memiliki kandungan gizi yang sesuai untuk dikonsumsi. Hewan kurban yang terlalu kurus, mengalami stres berat, atau memiliki kelainan metabolik, cenderung menghasilkan daging dengan kualitas rendah dan nilai gizi yang menurun.

Dalam Islam sendiri, hewan kurban harus memenuhi syarat fisik tertentu, seperti tidak cacat dan dalam kondisi prima, yang secara tidak langsung mendukung prinsip pangan sehat.

Selain itu, perhatian terhadap aspek gizi menjadi penting karena daging kurban umumnya didistribusikan kepada masyarakat yang membutuhkan. Mereka menjadikan daging sebagai sumber protein hewani yang mungkin hanya bisa dinikmati satu tahun sekali.

Bayangkan jika daging tersebut ternyata sudah terkontaminasi atau berasal dari hewan yang tidak layak, maka bukan manfaat yang diberikan, melainkan beban kesehatan.

Hal yang tidak kalah penting adalah pengurangan risiko residu antibiotik atau hormon pertumbuhan pada hewan yang tidak dikontrol pemeliharaannya.

Jika hewan kurban mengandung sisa obat-obatan karena tidak mengikuti masa karantina sebelum disembelih, maka daging yang dihasilkan tidak sehat untuk dikonsumsi.

Oleh sebab itu, penting kiranya setiap panitia pemotongan hewan kurban meminta kepada penyedia hewan kurban untuk menyediakan Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) Hewan kurban.

Di Kabupaten Bintan, SKKH diterbitkan oleh dokter hewan berwenang Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Bintan secara cuma-cuma alias gratis.

Utuh: Menjaga Integritas Produk Hewan

Utuh dalam konteks pangan ASUH mengandung makna bahwa daging yang disalurkan harus dalam kondisi baik, tidak rusak, tidak tercampur dengan bagian yang tidak layak konsumsi, dan tidak mengandung bagian haram.

Dalam pelaksanaan kurban, prinsip ini sering terabaikan akibat terbatasnya fasilitas penyimpanan, distribusi, atau pengetahuan masyarakat tentang penanganan produk hewan.

Misalnya, pencampuran antara daging dengan bagian organ dalam seperti paru-paru, jeroan, atau darah dalam satu kemasan, bukan hanya tidak memenuhi prinsip “utuh” tetapi juga meningkatkan risiko kontaminasi.

Demikian pula jika daging dipotong terlalu kecil, atau dicampur antar jenis hewan (sapi dan kambing), maka potensi salah sasaran distribusi dan penurunan mutu sangat besar.

Integritas daging juga menyangkut kepercayaan publik terhadap sistem kurban yang dijalankan. Jika masyarakat merasa tidak yakin dengan kualitas atau kejelasan asal daging kurban yang diterima, maka nilai sosial dan keagamaannya bisa berkurang. Oleh sebab itu, proses distribusi yang rapi, tertata, dan menjaga keutuhan produk menjadi bagian penting dari prinsip ASUH.

Halal: Ketaatan Syariah sebagai Pondasi

Prinsip halal dalam penyembelihan hewan adalah fondasi utama dari ibadah kurban. Dalam Islam, penyembelihan harus dilakukan oleh orang Muslim yang baligh dan berakal, dengan menyebut nama Allah, serta menggunakan alat potong yang tajam agar tidak menyiksa hewan. Hal ini bukan hanya aspek ibadah, tetapi juga mendukung keamanan dan kesehatan pangan. Penyembelih juga harus Juru sembelih halal (Juleha). Bahkan, diutamakan Juleha yang telah memiliki sertifikat Kompetensi. Di Kabupaten Bintan, organisasi yang menaungi para Juleha adalah Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Juleha Kabupaten Bintan.

Sementara itu, penelitian menunjukkan bahwa penyembelihan secara halal yang dilakukan dengan baik dapat mengurangi stres pada hewan dan menghasilkan daging yang lebih berkualitas karena peredaran darah yang maksimal keluar dari tubuh hewan. Ini berkaitan dengan kebersihan, keempukan, dan daya simpan daging.

Namun demikian, masih banyak praktik kurban yang tidak memenuhi kaidah halal secara utuh. Misalnya, penyembelihan yang dilakukan dengan cara kasar, tanpa keahlian, atau bahkan tanpa menyebut nama Allah, bisa menjadikan daging tersebut tidak halal. Ini tentu sangat disayangkan, karena mengabaikan salah satu syarat sah kurban.

Halal juga mencakup pemilihan jenis hewan, metode penyembelihan, hingga distribusi yang tidak menimbulkan fitnah, seperti mencampurkan daging kurban dengan daging non-kurban atau menjual bagian dari hewan kurban, yang dilarang secara syar’i.

Kesadaran Kolektif: Tanggung Jawab Bersama

Penerapan prinsip ASUH dalam pemotongan hewan kurban bukan hanya tugas panitia kurban atau instansi pemerintah, melainkan menjadi tanggung jawab kolektif semua pihak, mulai dari peternak, masyarakat, tokoh agama, hingga pemerintah daerah.

Pendidikan kepada masyarakat tentang pentingnya pemilihan hewan yang sehat, cara penyembelihan yang benar, serta penanganan dan distribusi daging yang higienis perlu ditingkatkan secara masif.

Pemerintah sendiri sudah mengeluarkan regulasi terkait pemotongan hewan yang sehat dan halal, termasuk dalam Permentan No. 114/2014 tentang Pemotongan Hewan Kurban serta Fatwa MUI terkait tata cara penyembelihan sesuai syariat Islam.

Namun, implementasi di lapangan masih sering kali tidak optimal, terutama di daerah-daerah padat penduduk yang menyelenggarakan kurban di halaman masjid atau pinggir jalan.

Peran tokoh agama sangat strategis dalam memberikan pemahaman bahwa ibadah kurban tidak hanya bersifat simbolik atau seremoni tahunan, tetapi juga bentuk pengabdian kepada Allah SWT yang harus dilaksanakan dengan penuh kesadaran akan tanggung jawab sosial dan kesehatan masyarakat.

Kurban Berkualitas, Masyarakat Sejahtera

Kurban bukan hanya tentang menyembelih hewan, melainkan tentang menyampaikan pesan kebaikan, kepedulian, dan tanggung jawab. Prinsip Aman, Sehat, Utuh, dan Halal (ASUH) menjadi tolok ukur kurban yang berkualitas. Tidak cukup hanya niat dan tata cara syar’i, tetapi juga harus dibarengi dengan pengetahuan, keterampilan, dan sistem pelaksanaan yang memperhatikan keamanan pangan dan kesehatan masyarakat.

Mari jadikan momen kurban bukan hanya ajang ritual tahunan, tetapi juga momentum untuk memperbaiki tata kelola pangan hewani, mengedukasi masyarakat, dan menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sangat memperhatikan keselamatan umat.

Dengan demikian, kurban tidak hanya membawa keberkahan spiritual, tetapi juga manfaat nyata bagi kesehatan dan kesejahteraan umat. Semoga!

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses