TANJUNGPINANG | WARTA RAKYAT – Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pemberdayaan Masyarakat (DP3APM) Kota Tanjungpinang menggelar rapat koordinasi lintas sektoral pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak (KtPA) serta tindak pidana perdagangan orang (TPPO), di aula Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, kantor Wali Kota Tanjungpinang, Kamis (7/11/2024).
Rapat dibuka Staf Ahli Bidang Pemerintahan, Politik, dan Hukum, Marzul Hendri, serta dihadiri dinas terkait, aparat penegak hukum, LSM, organisasi wanita, FKUB, serta UPTD PPA Provinsi Kepulauan Riau dan Kota Tanjungpinang.
Dalam sambutannya, Marzul menyampaikan bahwa sesuai dengan perubahan Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2023, kini Kepolisian Negara Republik Indonesia menjabat sebagai ketua harian Tim Gugus Tugas TPPO, menggantikan peran sebelumnya yang diemban oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan.
“Kami berharap perubahan ini akan memperkuat koordinasi antar instansi sehingga pemberantasan sindikat TPPO bisa lebih optimal,” ujar Marzul.
“Rapat ini merupakan langkah strategis untuk merumuskan solusi konkret dalam mengatasi permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta TPPO di Kota Tanjungpinang,” tambahnya.
Kepala DP3APM Kota Tanjungpinang, Bambang Hartanto, melaporkan hingga Oktober 2024, tercatat 45 kasus kekerasan terhadap perempuan di Tanjungpinang, 8 di antaranya terkait TPPO. Sementara itu, kasus kekerasan terhadap anak mencapai 72, 4 di antaranya juga berhubungan dengan TPPO.
Bambang mengungkapkan beberapa tantangan dalam pencegahan kekerasan dan TPPO, seperti kurangnya pemahaman masyarakat, faktor ekonomi, dan posisi Tanjungpinang sebagai daerah perbatasan. “Selain itu, keterbatasan SDM dan lembaga yang terlatih juga menjadi kendala,” tambahnya.
Tim gugus tugas TPPO telah melakukan berbagai langkah preventif, antara lain sosialisasi, pelatihan penanganan kasus, dan pembentukan pamong wilayah melalui Satpol PP. “Kami juga memberikan pelatihan peningkatan ekonomi keluarga, khususnya untuk perempuan,” jelas Bambang.
Narasumber, Kasub Unit PPA Polresta Tanjungpinang, Jakson Debataraja, menjelaskan bahwa TPPO dan penyelundupan manusia seringkali sulit dibedakan, terutama dalam kasus pekerja migran Indonesia (PMI).
“Pelaku terus mengubah modus operandi untuk mengelabui aparat,” ujarnya.
Jakson juga menyebutkan kendala dalam penanganan TPPO, seperti identitas korban yang sering dipalsukan dan ketakutan korban untuk melapor. Proses penyidikan juga terkendala karena banyak pelaku yang melarikan diri ke luar negeri.
“Oleh karena itu, kerja sama lintas sektoral dan koordinasi yang lebih kuat sangat dibutuhkan,” harapnya.
Sementara itu, Kepala BP3MI, Kombes Pol Imam Riyadi, menegaskan salah satu upaya penting dalam mencegah TPPO adalah dengan menghentikan pengiriman PMI secara non-prosedural ke luar negeri. Aparat penegak hukum juga diharapkan untuk menindak perusahaan ilegal yang merekrut PMI secara tidak sah.
Berdasarkan data BP3MI Kepulauan Riau 2024, sebanyak 939 PMI ditempatkan secara prosedural (28,93%), sementara 2.307 PMI lainnya bekerja non-prosedural (73,07%).
“Kami berkomitmen untuk mendukung upaya pemerintah dalam memberantas TPPO,” tegasnya.
Dalam rapat tersebut, tim gugus tugas mengusulkan pentingnya sosialisasi masif mengenai pencegahan kekerasan dan TPPO, baik kepada masyarakat maupun aparat penegak hukum. Sosialisasi diharapkan melibatkan penyintas untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam.