TANJUNGPINANG | WARTA RAKYAT – Ketua Komisi II DPRD Kepulauan Riau, Wahyu Wahyudin menegaskan akan mengawal konflik antara warga Kampung Panau dengan PT. Blue Steel Energi (BSI).
Itu ia sampaikan menyikapi ratusan warga yang menggelar unjuk rasa mendesak perusahaan menghentikan aktivitas reklamasi.
Wahyu mengatakan, ia akan kembali memfasilitasi mediasi antara warga dan perusahaan di Kantor Camat Nongsa pekan ini.
“Tanggal 6 Desember 2023 mendatang kita akan mangadakan pertemuan kembali bersama pihak perusahaan di Kantor Camat Nongsa. Mudah-mudahan dalam pertemuan itu, permasalahan ini menemui titik terang,” katanya, Jum’at (1/12/2023).
Wahyu menuturkan, saat ini perusahaan sudah menghentikan sementara kegiatan reklamasi hingga mediasi dilakukan.
“Saya mengimbau kepada masyarakat untuk menahan diri tidak melakukan tindakan-tindakan dapat merugikan diri sendiri maupun perusahaan. Saya akan kawal terus keinginan masyarakat hingga permasalahan ini mendapatkan titik terang,” ucapnya.
Perwakilan warga Kampung Panau, Hasan Deny menerangkan, aktivitas reklamasi PT. BSI menimbulkan kerusakan lingkungan dan berdampak buruk bagi perekonomian nelayan setempat.
“Laut yang dulunya tempat kami mencari nafkah untuk keluarga sehari-hari kini sudah ditimbun oleh PT Blue Steel Industri. Lantas, bagaimana nasib kami para nelayan di kampung ini,” ujarnya dilansir dari Batamtoday, Kamis (30/11/2023).
Hasan menuturkan, reklamasi yang dilakukan oleh PT. BSI sudah merambah ke bibir pantai sehingga mengakibatkan rusaknya ekosistem laut. Bahkan para nelayan pesisir tak lagi dapat mencari ikan seperti pada umumnya.
“Dimana pengawasan dari instansi terkait baik itu dari Pemko, BP Batam Pemprov Kepri, dinas terkait, dan Kecamatan Nongsa. Mereka seolah-olah membiarkan kerusakan ini terjadi tanpa memikirkan nasib warga,” jelasnya.
Menurut Hasan, aktivitas penimbunan laut yang dilakukan PT BSI berlangsung setiap hari dan beroperasi selama 24 jam.
Hilir mudik puluhan truk-truk bermuatan tanah dengan leluasa melakukan penimbunan di laut.
“Proyek reklamasi laut PT. BSI juga diduga kuat tidak dilengkapi dengan dokumen resmi seperti izin domisili dan surat izin gangguan (HO). Lantas, kenapa tidak ada institusi terkait yang mampu menghentikan aktivitas tersebut,” ujarnya.
Hasan mengungkapkan, sejak aktivitas reklamasi laut berlangsung, nelayan setempat menanggung jumlah kerugian yang cukup besar.
Keseharian sebagai nelayan kini terputus karena kondisi perairan pesisir pantai berubah kumuh dan keruh. Tak ada lagi biota atau ekosistem laut yang selama ini menjadi pencaharian.
“Selama satu tahun ini, rata-rata nelayan disini beralih profesi sebagai tukang ojek, kuli bangunan dan kuli panggul. Hal itu, disebabkan karena kondisi perairan yang kumuh dan sudah tidak dapat lagi menghasikan ikan,” ungkapnya.
Hasan pun meminta perhatian serius dari Pemerintah. Apalagi ada 170 KK warga Kampung Panau yang cukup resah dengan aktivitas reklamasi tersebut.
“Jangan sampai masyarakat berbuat anarkis sehingga dinilai menghambat investasi. Tetapi, Pemerintah juga harus memperhatikan nasib kami,” tegasnya.
Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menghentikan sementara kegiatan reklamasi PT. BSI.
Penghentian sementara dilakukan setelah KKP menemukan indikasi pelanggaran pemanfaatan ruang laut.
Kegiatan reklamasi seluas 1,191 hektar tersebut tidak dilengkapi dengan dokumen Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).