TANJUNGPINANG | WARTA RAKYAT – Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kelurahan Tanjungpinang Kota melaksanakan Festival Mooncake atau Kue Bulan di kawasan Kota Lama Tanjungpinang, Jumat (29/9/2023).
Festival Mooncake dibuka secara langsung oleh Penjabat Wali Kota Tanjungpinang Hasan.
Festival Kue Bulan adalah perayaan masyarakat Tionghoa. Perayaan Festival Kue Bulan ini merupakan terbesar kedua setelah Imlek.
Perayaan Festival Kue Bulan juga disebut sebagai Mid Autumn Festival atau Festival Pertengahan Musim Gugur. Festival Kue Bulan dianggap sebagai simbol perayaan syukur dengan menikmati bulan purnama sambil menyantap kue bulan.
Pj Wali Kota Tanjungpinang Hasan mengapresiasi atas terlaksananya Festival Moon Cake ini dan berharap tradisi Moon Cake ini dapat tetap lestari, mengingat pada saat ini anak cucu sudah berada pada masa modernisasi.
“Saya berharap festival moon cake ini dapat terus kita selenggarakan agar tradisi ini tidak akan punah dan dapat terus lestari pada setiap generasi kedepannya,” harapnya.
Pemko Tanjungpinang, lanjutnya, akan mendukung festival ini lebih menarik, supaya masuk menjadi salah satu event di kalender pariwisata Tanjungpinang.
“Saya kira event seperti ini sangat baik, tinggal kita mengemas dan pemerintah akan memberikan dukungan, biar panitia atau komunitas yang menggemaskan kegiatan ini sudah lebih menarik lagi,” ujarnya.
Menurutnya, tahun 2024 mendatang Pemko Tanjungpinang akan memberikan dukungan salah satu dalam bentuk dukungan biaya penyelenggaraan melalui dana hibah kepada komunitas yang menyelenggarakan Festival ini.
“Dukungan bisa melalui hibah yang nanti bisa digunakan untuk persiapan kegiatan ini,” imbuhnya.
Sementara itu, Ketua Pokdarwis Kelurahan Tanjungpinang Kota Sheli mengatakan, festival ini dilaksanakan atas kolaborasi antara Studio Anggrek dan Kelenteng Cong Yi Bio Plantar Datuk. “Kegiatan dilaksanakan selama satu hari dari pagi sampai malam,” ujarnya.
Menurutnya, festival ini diisi berbagai macam atraksi dan perlomban mulai dari lomba melukis, atraksi melukis, dan tarian barongsai.
Pihaknya juga menyiapkan 500 kue bulan (Moon Cake) untuk dibagi-bagikan secara gratis kepada warga sekitar.
“Kegiatan ini dalam rangka untuk melestarikan tradisi dan juga untuk membangun kebersamaan bagi seluruh masyarakat Tanjunpinang,” imbuhnya.
Sejarah Festival Kue Bulan
Festival Kue Bulan atau Mooncake Festival merupakan perayaan besar masyarakat Tionghoa. Lalu, bagaimana sejarah Mooncake Festival?
Secara umum, Festival Kue Bulan diyakini berawal dari kegiatan pemujaan kaisar kuno. Namun, ada versi lain sejarah Festival Kue Bulan yang berkaitan dengan produksi pertanian, yaitu panen saat musim gugur.
Musim gugur adalah musim panen, panen dan buah-buahan yang terus-menerus dipanen.
Para petani merayakan kebahagiaan panen dengan menetapkan hari khusus di pertengahan bulan ke-8 dalam kalender lunar untuk merayakannya.
Mereka merayakannya tidak hanya untuk mengungkapkan rasa terima kasih mereka kepada dewa bulan dan alam, tetapi juga untuk mengharapkan perlindungan dan kebahagiaan di masa depan.
Hingga kini, hari khusus tersebut dijadikan Festival Kue Bulan atau Mooncake Festival. Selain itu, Festival Kue Bulan juga berhubungan dengan penampakan Bulan yang terlihat terang saat perayaan tersebut.
Bulan lebih terang dan bulat pada hari ke 15 bulan ke 8 lunar. Dalam masyarakat feodal, kaisar biasa memuja matahari di musim semi dan memberikan persembahan kepada bulan di musim gugur.
Belakangan, para bangsawan dan cendekiawan mengikutinya untuk mengapresiasi terangnya bulan di Festival Pertengahan Musim Gugur.
Pada Dinasti Zhou, masyarakat menata altar dengan meletakkan kue bulan, semangka, apel, kurma merah, plum, anggur dan persembahan lainnya, di mana kue bulan dan semangka berbentuk teratai dinilai sangat penting untuk melambangkan keharmonisan keluarga.
Adat istiadat semacam ini lama kelamaan merajalela di kalangan masyarakat dan menjadi suatu kegiatan tradisional.
Hingga pada zaman Dinasti Tang, masyarakat semakin menaruh perhatian pada persembahan ke bulan, sehingga Festival Pertengahan Musim Gugur menjadi festival permanen.
Pada hari itu, orang-orang memandang bulan purnama untuk mengharapkan reuni keluarga. Masyarakat yang jauh dari rumah pun mengungkapkan kerinduannya dengan menatap bulan.