“A Few Good Men”: Sebuah Pelajaran Kepemimpinan

Ary Satia Dharma, S.Sos, M.Si, F-Ist

TANJUNGPINANG | WARTA RAKYAT – Walau hanya sebentar, Jack Nicholson tampil memukau dalam film “A Few Good Men” (1992), sehingga banyak yang percaya sepantasnya lah ia meraih Academy Award di tahun itu.   Namun tulisan ini tidak bermaksud untuk mengulas kehebatan akting Jack Nicholson yang berperan sebagai Kolonel Nathan Jessup, melainkan  menarik hikmah dari sosok unik tokoh tersebut.

Film arahan Sutradara Rob Reiner ini mencapai klimaksnya saat ruang persidangan tiba-tiba berubah menjadi panggung ketegangan moral. Kolonel Nathan Jessup, perwira tinggi yang kharismatik, berwibawa, dihormati, dan nampak tenang serta percaya diri di awal persidangan, akhirnya kehilangan kendali emosi. Dengan suara meninggi, ia berteriak dengan geram kepada jaksa muda (diperankan oleh Tom Cruise) yang menginterogasinya: “You need me on that wall!” Sebuah kalimat yang bukan hanya mewakili keyakinan pribadinya, tetapi juga mencerminkan cara pikir banyak pemimpin yang merasa dirinya adalah benteng terakhir negara. Dalam satu kalimat itu, kita menangkap seluruh tragedi Jessup—dan sekaligus tragedi banyak pemimpin: keyakinan bahwa kekuasaan adalah bentuk pengorbanan, bukan tanggung jawab.

Jessup bukan tokoh antagonis satu dimensi. Ia tidak korup, patriotik dan berdedikasi tinggi. Ia adalah figur militer yang ditempa dalam dunia keras pertahanan negara, seseorang yang hidup dalam keyakinan bahwa keamanan tidak tercipta dari diskusi yang santun, tetapi dari disiplin ketat dan keberanian menghadapi ancaman. Di hadapannya, hukum dan moral kadang dipandang sebagai kemewahan yang tidak dimiliki para prajurit di garis depan. Ia menganggap dirinya melakukan hal-hal sulit yang orang lain tak sanggup lakukan agar negara tetap aman. Dalam kerangka itu, “You need me on that wall” bukanlah pembelaan, tetapi pengakuan atas peran yang ia anggap mulia.

Namun justru di situlah letak kejatuhannya. Jessup begitu meyakini pentingnya perannya sehingga secara perlahan batas antara negara dan dirinya menjadi kabur. Ia mulai percaya bahwa keselamatan negara identik dengan kehormatannya, kesuksesan unitnya, dan keputusan-keputusannya yang tak boleh dipertanyakan. Ketika seorang prajurit lemah dianggap mengancam reputasi unit, ia merasa berhak menerapkan code red—hukuman keras di luar prosedur resmi—demi menjaga apa yang ia sebut “ketertiban.” Pembelaan moralnya muncul dari rasa tanggung jawab, tetapi tindakan nyatanya justru melanggar hukum yang seharusnya ia tegakkan.

Inilah paradoks yang sering muncul dalam kepemimpinan karismatik: semakin besar pengaruh seorang pemimpin, semakin besar pula kemungkinan ia mempercayai narasi heroiknya sendiri. Karisma bisa menginspirasi, tetapi juga bisa menyesatkan. Kepemimpinan yang bertumpu pada keyakinan bahwa “tanpa saya negara akan runtuh” berisiko berubah menjadi kepemimpinan yang anti-kritik, alergi terhadap akuntabilitas, dan merasa dirinya selalu benar.

Film A Few Good Men memperlihatkan bagaimana karisma Jessup berubah dari kekuatan menjadi celah moral. Ia tidak jahat, tetapi ia mulai percaya bahwa ia tak mungkin salah. Ia bukan penjahat, tetapi ia mengira dirinya berhak menentukan batas moralitas demi stabilitas. Ketika akhirnya mengakui bahwa code red memang perintahnya, ia tidak melakukannya sebagai pengakuan bersalah, tetapi sebagai pembenaran. Ia merasa bahwa tindakan itu perlu, wajar, bahkan mulia. Dalam pikirannya, ia adalah ksatria yang menjaga negara di balik “tembok” metaforis keamanan nasional.

Pandangan ini, menariknya, bersinggungan dengan tafsir filsafati tentang kasta sebagai kondisi batin yang pernah disampaikan Sujiwo Tejo. Dalam tafsir tersebut, ksatria adalah mereka yang memikirkan negara di atas dirinya sendiri. Jika memakai kerangka ini, Jessup memang memiliki karakter ksatria: loyal, berani, berdedikasi, dan selalu menempatkan negara sebagai prioritas. Namun ksatria dalam ajaran moral klasik bukan sekadar soal keberanian menjaga negara, melainkan menjaga negara dengan kebenaran dan ketertiban moral. Ksatria sejati adalah pelindung, bukan penguasa; penjaga hukum, bukan pelanggar hukum.

Dalam konteks kepemimpinan modern, fenomena “Jessup” tidak hanya terjadi di militer. Ia dapat muncul dalam lembaga pemerintah, perusahaan, organisasi sosial, bahkan dalam kepemimpinan komunitas. Ketika seorang pemimpin terlalu percaya pada narasi heroiknya—dan ketika orang-orang di sekitarnya terlalu segan mengoreksi—maka lahirlah ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan. Tidak selalu berupa kejahatan besar. Kadang hanya berupa keputusan kecil yang melanggar etika, kemudian diikuti lagi oleh keputusan lain, hingga akhirnya batas antara loyalitas dan fanatisme memudar.

Kejatuhan Jessup adalah pengingat bahwa pemimpin tidak boleh hanyut dalam karisma diri sendiri. Pemimpin perlu memiliki keberanian untuk mendengar kritik, kesediaan untuk tunduk pada aturan, dan kerendahan hati untuk menerima bahwa tidak ada seorang pun yang lebih besar dari hukum. Kepemimpinan terbaik bukanlah yang merasa dibutuhkan, tetapi yang membuat sistem tetap berjalan bahkan ketika ia tidak lagi memimpin.

A Few Good Men memberi kita gambaran tentang kepemimpinan yang heroik sekaligus tragis. Kolonel Jessup adalah simbol pemimpin yang sangat dibutuhkan sebuah institusi dalam situasi ekstrem—tetapi juga pemimpin yang dapat menjadi ancaman ketika tidak lagi mampu membedakan antara loyalitas dan kesewenang-wenangan.

Daripada mengecamnya sebagai penjahat, lebih bijaksana melihatnya sebagai cermin.. Karena dalam setiap institusi, selalu ada risiko munculnya pemimpin seperti Jessup: kuat, karismatik, patriotik, namun perlahan tersandung oleh keyakinannya sendiri.

Pada akhirnya, pelajaran utamanya sederhana: pemimpin hebat bukan hanya sanggup mengambil keputusan sulit, tetapi juga sanggup menjaga batas kemanusiaan saat kekuasaan menempatkannya di atas orang lain.

 

Artikel ini ditulis oleh : Ary Satia Dharma, S.Sos, M.Si
( Kepala Biro Akademik, Perencanaan, Kemahasiswaan dan Kerjasama Universitas Maritim Raja Ali Haji; dan Ketua Forum Kepala Biro/Direktur Akademik, Kemahasiswaan, Perencanaan dan Kerjasama PTN Indonesia) 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses