SUCCESS TRAP

Ary Satia Dharma, S.Sos, M.Si ( Kepala Biro Alademik, Perencanaan, Kemahasiswaan dan Kerjasama Universitas Maritim Raja Ali Haji; dan Ketua Forum Kepala Biro/Direktur Akademik, Kemahasiswaan, Perencanaan dan Kerjasama PTN Indonesia)

TANJUNGPINANG | WARTA RAKYAT – Sebuah video reels muncul di ponsel saya dengan judul “All value must be defended.” Ungkapan ini sekilas terdengar agung dan heroik. Ia memberi kesan bahwa nilai adalah sesuatu yang sakral, tidak boleh diganggu gugat, dan harus diperjuangkan sampai titik darah penghabisan. Namun dalam kenyataan, kalimat ini bisa berubah menjadi pedang bermata dua.

Banyak organisasi dan pemimpin justru runtuh bukan karena mereka tidak memiliki nilai, melainkan karena terlalu kaku mempertahankan nilai lama yang sudah tidak relevan.

Nilai (values) adalah fondasi yang membentuk cara berpikir, pengambilan keputusan, serta budaya dalam organisasi. Di tahap awal pertumbuhan, nilai tertentu kerap menjadi sumber daya unik yang membuat organisasi berbeda dari pesaing. Nilai kerja keras, fokus pada kualitas, atau keyakinan pada inovasi bisa mendorong organisasi mencapai kesuksesan besar. Tidak jarang, para pemimpin melihat nilai tersebut sebagai kunci emas yang harus dijaga dengan konsistensi penuh.

Namun, kesuksesan sering kali melahirkan paradoks. Best Practice dari keberhasilan dapat membentuk sistem nilai yang dianut dan semakin menguat, bahkan berubah menjadi doktrin yang tidak boleh diganggu gugat.

Pada titik ini, nilai yang dulu menjadi kekuatan bisa bertransformasi menjadi kelemahan. Inilah yang dalam literatur manajemen disebut success trap—jebakan sukses. Dorothy Leonard-Barton (1992) menyebutnya core rigidity: kompetensi inti yang terlalu lama dipertahankan hingga menjadi beban. Demikian pula Levinthal dan March (1993) menyinggung myopia of learning, yakni pandangan sempit akibat belajar terlalu lama dari pola lama.

Kerangka berpikirnya sederhana: nilai yang dianut sebuah organisasi mendorong perilaku dan strategi tertentu, lalu menghasilkan kesuksesan. Kesuksesan tersebut kemudian memperkuat keyakinan bahwa nilai itu benar, sehingga nilai makin mengakar. Namun semakin kuat sebuah nilai, semakin besar pula resistensi terhadap perubahan. Resistensi ini membuat organisasi sulit berinovasi, dan tanpa inovasi, organisasi kehilangan daya adaptasi. Akhirnya, organisasi yang dulunya berjaya justru runtuh oleh kekuatan yang dulu membuatnya besar.

Kita dapat melihat pola ini dari runtuhnya sejumlah merek besar. Kodak, misalnya, terlalu lama berpegang pada nilai: “film fotografi adalah inti bisnis,” sehingga terlambat merespons era digital. Nokia pernah memegang prinsip bahwa hardware dan desain fisik adalah kunci dominasi ponsel, tetapi gagal mengantisipasi ekosistem perangkat lunak dan pengalaman pengguna yang diusung iOS maupun Android. BlackBerry pun demikian: ketika pengguna mulai mencari fleksibilitas aplikasi dan layar sentuh, mereka masih berpegang teguh pada nilai “keamanan dan keyboard fisik” sebagai keunggulan utama. Nilai yang dahulu membuat mereka hebat, akhirnya menjadi belenggu yang mempercepat keruntuhan.

Menariknya, ada kisah kontras dari level negara. China dan Vietnam adalah contoh bagaimana sebuah bangsa dapat mempertahankan nilai fundamental—komunisme—sambil mengadaptasinya dengan kebutuhan zaman.

China sejak era Deng Xiaoping mengadopsi prinsip “socialism with Chinese characteristics.” Nilai komunisme tetap dijaga dalam hal struktur politik dan ideologi partai, tetapi mereka melakukan reformasi ekonomi besar-besaran. Deng memperkenalkan konsep “tidak peduli kucing itu berwarna hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus,” yang menekankan pragmatisme atas dogma. Hasilnya, nilai komunisme tidak ditinggalkan, melainkan ditafsir ulang dalam kerangka pembangunan ekonomi yang membuka ruang bagi pasar, investasi asing, dan inovasi teknologi. Saat ini, China mampu menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia tanpa kehilangan identitas ideologisnya.

Vietnam juga menunjukkan pola serupa melalui kebijakan Đổi Mới (1986). Nilai dasar komunisme tetap dipertahankan: kepemimpinan Partai Komunis, kesetiaan pada rakyat, dan prinsip kolektivitas. Namun, mereka merevisi kebijakan ekonomi dengan membuka investasi asing, memberi ruang kepemilikan pribadi dalam batas tertentu, dan memacu sektor ekspor. Dengan kombinasi ini, Vietnam bertransformasi dari negara miskin pascaperang menjadi salah satu ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara, sekaligus mempertahankan stabilitas politik.

Kisah China dan Vietnam memberikan pesan penting: mempertahankan nilai tidak selalu berarti membeku dalam dogma. Yang harus dipertahankan adalah spirit nilai—seperti keberpihakan pada rakyat, solidaritas sosial, atau kemandirian bangsa. Namun bentuk implementasinya harus bisa beradaptasi dengan tantangan baru, baik itu globalisasi, teknologi digital, maupun dinamika geopolitik. Mereka berhasil keluar dari jebakan sukses ideologi komunisme lama yang kaku, karena berani menafsir ulang nilai dalam konteks yang relevan.

Dari sinilah kita belajar bahwa ungkapan “All value must be defended” sebaiknya dipahami secara kritis. Nilai adalah fondasi yang harus dijaga, tetapi sekaligus perlu dipertanyakan relevansinya dalam konteks zaman. Jika nilai hanya dipertahankan karena romantisme masa lalu, ia bisa berubah menjadi liability. Tetapi jika nilai dimaknai sebagai semangat dasar yang terus diadaptasi, ia bisa menjadi energi pembaharuan.

Dalam konteks organisasi modern, kepemimpinan menjadi faktor kunci. Pemimpin yang mampu menjaga keseimbangan antara mempertahankan nilai inti dan membuka diri pada perubahan akan mencegah organisasi jatuh dalam success trap. Sebaliknya, pemimpin yang terjebak pada glorifikasi masa lalu akan menutup pintu inovasi dan membawa organisasinya ke arah keruntuhan.

Akhirnya, kita dapat menyimpulkan bahwa nilai memang harus dipertahankan, tetapi bukan bentuk lamanya yang mesti diperjuangkan, melainkan esensinya. Pertahanan nilai harus dilakukan dengan cara yang kreatif, adaptif, dan kontekstual. Seperti China dan Vietnam yang berhasil menjaga nilai komunisme sekaligus memodernisasinya. Setiap organisasi maupun individu dapat menimba inspirasi untuk keluar dari perangkap sukses. Dengan begitu, “All value must be defended” bukan berarti melawan perubahan, tetapi meneguhkan prinsip di tengah arus perubahan, agar kesuksesan tidak berubah menjadi bumerang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses