Menarik Moral dari Rusydiah Club

Ary Satia Dharma, S.Sos, M.Si, ( Kepala Biro Akademik, Perencanaan, Kemahasiswaan dan Kerjasama Universitas Maritim Raja Ali Haji; dan Ketua Forum Kepala Biro/Direktur Akademik, Kemahasiswaan, Perencanaan dan Kerjasama PTN Indonesia)

TANJUNGPINANG | WARTA RAKYAT – Awal pekan ini Universitas Maritim Raja Ali Haji bersama Masyarakat Sejarawan Kepulauan Riau menggelar Seminar Internasional bertajuk Rusydiah Club; Perkumpulan Cendekiawan Melayu dan Inspirasinya. Tajuk ini dengan segera membangkitkan curiosity, karena sepanjang pengalaman mempelajari sejarah di bangku sekolah, tidak pernah sekalipun nama Rusydiah Club terdengar. Ketika sejarah kebangkitan nasional Indonesia disebutkan, memori kolektif bangsa kita hampir selalu terikat pada berdirinya Budi Utomo tahun 1908. Itulah yang kemudian ditetapkan sebagai tonggak awal kesadaran kebangsaan. Padahal jauh sebelum itu (tahun 1895) Rusydiah Club telah berdiri di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, sebagai sebuah perkumpulan cendekiawan. Sekalipun belum secara eksplisit menggunakan istilah “kebangsaan” seperti yang kita pahami tahun di tahun 1908 (Budi Utomo), namun Karya-karya yang diterbitkan dibawah naungannya telah membahas isu-isu kontemporer seperti menghidupkan kembali sastra Melayu, mendukung identitas Melayu, serta kesadaran nasional (Oktasari, 2012). Bahkan dua tahun sebelum Budi Otomo didirikan di Batavia pada 20 Mei 1908, Rusydiah Club telah menyuarakan semangat kebangsaan dalam membela tanah air dari rempuhan politik kolonial Belanda di Kerajaan Riau melalui pidato politik yang sarat dengat semangat kebangsaan yang disampaikan oleh Tengku Usman, Wakil Ketua Rusydiah Club (Syahri, 2025).

Menurut Fitolog Indonesia, Mu’jizah (2025), dari namanya, yang berasal dari kata rusyd yang berarti ‘petunjuk/kebijaksanaan’ dan dan kata club yang berarti ‘perkumpulan atau persekutuan, mencerminkan perpaduan antara tradisi Arab-Islam dan modernitas barat. Rusydiah Club bukan organisasi politik, melainkan sebuah lingkaran intelektual yang berfungsi sebagai forum diskusi dan pertukaran gagasan. Melalui Rusydiah Club para cendekiawan Melayu yang bergabung di dalamnya menggiatkan forum diskusi intelektual dan reformis, yang berfokus pada: (i) pendidikan, etika, dan perilaku yang baik; (ii) membangun jejaring tokoh dengan tokoh terkemuka seperti Tengku Othman yang menyampaikan pidato yang menekankan ide-ide reformis; dan (iii) ruang untuk mengadvokasi pendidikan modern dan ideologi reformasi, sejalan dengan tujuan yang lebih luas dari publikasi Al-Imam (Mu’jizah, 2025).

Sebagai organisasi modern melayu pertama, pengaruh Rusydiah Club tidak hanya dirasakan secara lokal, Namun telah menyebar ke kawasan Melayu lain seperti Malaysia dan Singapura. Di kalangan masyarakat Melayu Rusydiah Club telah meninggalkan jejak yang sangat berarti, di antaranya : (i) Sebagai peletak Asas nasionalisme Melayu melalui pena dan Pendidikan; (ii) Tokoh Rusydiah Club diiktiraf sebagai pelopor reformasi dan persuratan Melayu; (iii) Pemikiran Rusydiah Club hidup dalam sistem Pendidikan dan budaya Malaysia modern; (iv) Konsep ‘Jihad Pena’ diteruskan oleh tokoh-tokoh wartawan, pendakwah dan cendekiawan Melayu; dan (v) Menjadi asas pada naratif Peradaban Melayu Islam.(Hashim, 2025)

Kini, lebih dari satu abad kemudian, kita hidup dalam era digital dan globalisasi. Di satu sisi, kita memiliki akses luar biasa terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun di sisi lain, ada nilai yang terasa hilang yang membuat kontribusi cendekiawan belum sepenuhnya berfungsi sebagai energi kemajuan bangsa. Oleh karenanya, penting bagi kita untuk menghidupkan kembali moral Rusydiah Club dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pertama, dari Rusydiah Club kita dapat belajar bahwa kritik dapat disampaikan dengan santun dan bermartabat, tanpa kehilangan ketajaman. Banyak dari kita yang kritis, tetapi cenderung emosional, reaktif, bahkan kasar. Media sosial menjadi arena tempat kritik dilontarkan, tetapi sering kehilangan substansi karena lebih menyerupai ledakan amarah daripada refleksi intelektual.

Kedua, Rusydiah Club selalu menempatkan agama dan moralitas sebagai bingkai utama, tanpa menghalangi keterbukaan pada pengetahuan modern. Pesan mereka relevan hingga kini: ilmu tanpa moral membutakan, sementara moral tanpa ilmu membodohkan. Saat ini kita mungkin bisa jadi sangat unggul di bidang teknologi, ekonomi, atau ilmu alam, tetapi orientasi etis terkadang masih lemah. Ilmu sering dipakai secara pragmatis, bahkan sekadar untuk mengejar kepentingan sempit.

Ketiga, Rusydiah Club menjadikan diskusi dan tulisan sebagai tradisi utama untuk menyebarkan pencerahan. Tradisi literasi seperti ini jangan sampai terkikis. Diskusi panjang, penulisan risalah, atau penelitian mendalam harus senantiasa digiatkan. Jangan hanya puas dengan status singkat di media sosial ketimbang tulisan reflektif yang berargumen kokoh.

Keempat, Rusydiah Club adalah teladan bagaimana intelektual bisa bergerak bersama dalam sebuah forum, saling menguji gagasan, dan memperkuat visi kolektif. kecenderungan individualisme harus kita eliminir. Pola mengejar prestasi personal, tanpa membangun komunitas intelektual yang kolektif harus kita hindari. Orientasi mengejar prestasi personal seperti ini berpotensi besar untuk tercerai-berai dan tidak memberi daya dobrak yang signifikan.

Kelima, Rusydiah Club memperlihatkan keseimbangan yang matang, dimana mereka terhubung dengan jaringan dunia Islam, tetapi tetap berpijak pada identitas Melayu. Saat ini globalisasi kerap membuat kita tercabut dari akar budaya lokal. Kita bisa sangat fasih bicara tentang teori Barat atau bahasa asing , tetapi gagap ketika harus mengaitkannya dengan konteks Indonesia.

Terakhir, meski hidup dalam bayang-bayang kolonial, Rusydiah Club berani menyuarakan pencerahan dan melawan kebodohan yang menguntungkan penjajahan. Banyak dari kita yang saat ini lebih suka memilih jalan aman, enggan bersuara lantang terhadap ketidakadilan, kebathilan, atau kebijakan publik yang merugikan rakyat.

Indonesia hari ini membutuhkan para cendekiawan dengan moral Rusydiah Club: berani tapi santun, kritis tapi berakar pada moral, modern tapi tidak tercabut dari budaya, dan berprestasi secara kolektif. Cendekiawan seperti inilah yang kelak bisa menjadi “energi” bagi kemajuan bangsa. Jika nilai-nilai Rusydiah Club ini bisa kita bangkitkan kembali, maka cendekiawan kita akan menemukan pijakan yang kokoh untuk mengantarkan bangsa ini bisa bergerak menuju masa depan yang hebat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses