TANJUNGPINANG | WARTA RAKYAT – Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan lebih dari 17.000 pulau, garis pantai terpanjang kedua di dunia, dan tiga perempat wilayahnya berupa laut. Potensi ekonomi biru (blue economy) Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari USD 1,33 triliun per tahun, meliputi sektor perikanan tangkap dan budidaya, bioteknologi laut, energi terbarukan laut, wisata bahari, hingga transportasi laut. Namun ironi muncul ketika terlihat data tingkat kemiskinan Indonesia tercatat sebesar 8,57 % dari penduduk, setara sekitar 24 juta orang (BPS, 2024). Data Global Food Security Index (2023) juga menunjukkan bahwa Indonesia hanya menempati peringkat 63 dari 113 negara dalam aspek ketahanan pangan.
Kondisi ini menunjukkan adanya jurang antara potensi dan realisasi. Dengan potensi laut yang melimpah, sebagian masyarakat pesisir masih bergulat dengan kerentanan pangan, kemiskinan, dan keterbatasan akses terhadap teknologi. Ini bukan hanya masalah ekonomi, melainkan masalah tata kelola dan paradigma pembangunan yang masih cenderung darat-sentris, konsumtif, dan terpusat.
Dengan demikian, guna meningkatkan kesejahteraan rakyat dan ketahanan pangan nasional, kita harus menggeser paradigma pembangunan: dari eksploitatif menjadi regeneratif, dari land-centric menjadi ocean-oriented, dan dari sekadar mengejar pertumbuhan menjadi membangun tamadun (peradaban) maritim yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Sejarah mencatat bahwa Indonesia pernah menjadi pusat tamadun maritim yang disegani. Dari Sriwijaya yang menguasai jalur perdagangan laut Asia Tenggara, hingga Majapahit yang menghubungkan kepulauan Nusantara melalui kekuatan lautnya, kita mewarisi jejak peradaban maritim yang agung.
Tantangan mengembalikan kejayaan tamadun maritim kita saat ini bukan sekadar kekuatan laut dalam aspek militer atau pelayaran, tapi juga membangun kembali peradaban itu dengan mengintegrasikan potensi komunitas dengan teknologi dan inovasi maritim untuk ketahanan pangan, kesejahteraan rakyat, dan kelestarian ekosistem laut.
Mari-Sociopreneurship: Solusi Inklusif untuk Ketahanan Pangan Maritim
Salah satu pendekatan yang menjanjikan untuk mengembalikan kejayaan tamadun maritim di Indonesia adalah melalui gerakan maritime-sociopreneurship (mari-sociopreneurship) —yaitu Gerakan kewirausahaan sosial berbasis komunitas dan teknologi maritim. Pendekatan ini menggabungkan semangat inovasi ekonomi dengan misi sosial dan ekologi, di mana komunitas pesisir menjadi produsen, pengolah, pengguna sekaligus pemasar produk pangan laut secara berkelanjutan.
Melalui mari-sociopreneurship, pangan laut seperti rumput laut, ikan (tangkap dan budidaya lokal), kerang, teripang, hingga hasil fermentasi tradisional bisa dikembangkan menjadi produk bernilai tambah yang mampu mengisi pasar domestik maupun ekspor. Proses ini tidak hanya menghasilkan keuntungan ekonomi, tetapi juga mendorong regenerasi budaya, transfer pengetahuan lokal, dan pelestarian ekosistem laut.
Mari-sociopreneurship juga mendorong keterlibatan kelompok marginal seperti perempuan nelayan, pemuda pesisir, dan pelaku UMKM untuk mengambil peran strategis dalam rantai nilai pangan laut. Dengan mengintegrasikan pendekatan digital, keberlanjutan, dan kolaborasi, model ini menjadi jembatan antara kearifan lokal dan dinamika pasar global.
Gerakan mari-sociopreneurship telah dimulai oleh Universitas Maritim Raja Ali Haji sejak Tahun 2020, yang secara eksplisit menggaungkan visi sebagai pusat unggulan mari-sociopreneurship dan tamadun maritim di asia tenggara Tahun 2040. Melalui proses pembelajaran, riset dan pengabdian masyarakat yang fokus dan konsisten, langkah penting lain yang diambil adalah membangun aliansi strategis dengan stakeholders kunci untuk membangun ekosistem mari-sociopreneurship secara kolaboratif dan partisipatif.
Peran Tata Kelola Adaptif
Untuk mengubah mari-sociopreneurship dari gerakan kecil menjadi ekosistem nasional yang berdampak luas, diperlukan tata kelola adaptif yang mampu membaca dinamika lokal dan global secara responsif. Tata kelola adaptif tidak terjebak pada model birokrasi linier dan sektoral, melainkan membuka ruang kolaborasi antar-aktor dan pembelajaran lintas level.
Dalam hal ini, pendekatan pentahelix menjadi kerangka penting: melibatkan pemerintah, akademisi, pelaku usaha, komunitas, dan media secara setara. Pemerintah bertugas menyediakan regulasi yang mendukung inovasi maritim dan akses pasar. Akademisi memainkan peran dalam riset, edukasi, dan pendampingan komunitas. Dunia usaha berperan dalam hilirisasi, dan skala ekonomi. Komunitas adalah pelaku utama dan penjaga budaya, sementara media menjadi saluran untuk membentuk opini dan kesadaran publik.
Sinergi ini akan memberikan dampak yang kuat terhadap capaian Asta Cita Presiden Republik Indonesia—khususnya yang terkait dengan ketahanan pangan, penguatan ekonomi rakyat berbasis hilirisasi dan industrailisasi, meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan, pembangunan dari desa, pembangunan ekonomi biru yang berkelanjutan, penguatan sistem inovasi nasional, serta pemerintahan yang adaptif dan kolaboratif.
Transformasi Budaya dan Preferensi Publik
Lebih dari sekadar pendekatan ekonomi, mari-sociopreneurship juga membentuk ulang orientasi dan preferensi masyarakat. Ketika pangan laut tidak lagi dipandang sebagai produk mentah murah, melainkan sebagai simbol peradaban dan identitas, maka akan tumbuh kebanggaan baru terhadap laut dan budaya pesisir.
Anak-anak muda tidak lagi malu menjadi nelayan atau pengolah hasil laut, melainkan bangga sebagai pelaku perubahan. Generasi digital akan tertarik mengembangkan teknologi budidaya dan pengolahan hasil laut, e-commerce produk laut, dan platform edukasi kelautan. Inilah proses transformasi budaya menuju bangsa maritim sejati. Tantangan pangan dan krisis ekologi global memaksa kita mencari sistem baru yang berakar pada kemandirian dan keberlanjutan. Indonesia punya jawabannya di pesisirnya sendiri—dalam bentuk tamadun maritim yang hidup, berdaya, dan lestari.
Sudah saatnya laut tidak lagi menjadi halaman belakang, tapi menjadi halaman depan pembangunan bangsa. Dan untuk itu, mari-sociopreneurship harus dijadikan arus utama, bukan sekadar proyek sampingan.
Ditulis Oleh : Ary Satia Dharma, S.Sos, M.Si
(Kepala Biro Alademik, Perencanaan, Kemahasiswaan dan Kerjasama Universitas Maritim Raja Ali Haji; dan Ketua Forum Kepala Biro/Direktur Akademik, Kemahasiswaan, Perencanaan dan Kerjasama PTN Indonesia)






