BINTAN |WARTA RAKYAT– PT Bintan Alumina Indonesia atau PT BAI (selanjutnya disebut PT GBKEK) yang berlokasi di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Galang Batang, Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan melirik Pulau Poto untuk mengembangkan kawasan industrinya, namun hal itu diduga telah melanggar dan mengabaikan hak-hak pemilik lahan di kawasan Pulau Poto, Yakni Doni sebagai pemilik lahan di Pasir Bana, PT MMJ (Mempadi Manggala Jaya) dan Alex Susanto.
Pulau poto sendiri memiliki keindahan pantai dan pasir yang bersih serta ombak yang tenang dan ditambah pulau itu dekat dengan resort-resort privat yang telah beroperasi di Pulau Cempedak, Pulau Pangkil dan Pulau Joyo.
Salah satu pemilik lahan di Pulau Poto, Doni mengatakan terkejut saat dirinya akan melanjutkan perizinan pengembangan pariwisata, karena telah terbit ijin PKKRL (Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut) atas nama PT GB KEK seluas 650 HA yang telah dikeluarkan oleh KKP.
“Karena melihat potensi keindahan pantainya dan dekatnya dengan resort-resort privat island yang sudah beroperasi seperti Cempedak, pangkil dan kita berniat mengembangkan lokasi ini sebagai daerah pariwisata. Namun disaat perizinan kita terbentur dengan masalah lahan yang sudah di ploting oleh PT GB KEK baik di lahan daratnya maupun laut,” kata Doni saat mengunjungi pulau Poto bersama awak media, Sabtu (14/9/2024).
Untuk mempertanyakan mengapa hal ini bisa terjadi, Ia juga telah berupaya melakukan komunikasi dangan pihak PT GBKEK dan menyurati instansi terkait mulai dari tingkat daerah, provinsi hingga ke pusat (Kementrian Kelautan Perikanan) serta Ombudsman namun belum memberikan hasil yang menggembirakan bagi pihaknya.
“Sampai saat ini sudah kita surati ke berbagai instansi dan belum ada feed back yang jelas ke pihak kita, dan kami ingin klarifikasi dari Pihak PT GBKEK,” ujar Doni berang.
Lanjut Doni, “Kami ini bukan anti investasi, kami mendukung investasi untuk pengembangan daerah. Tapi yang saya utarakan sebelumnya itu mengenai hak-hak pemilik lahan yang ada di pulau ini tolong dihargai, ” ujarnya ketus.
Rencana pengembangan kawasan industri PT GBKEK hingga ke pulau poto juga mendapat penentangan La Nuvai dan Virginus dari warga kampong Tenggel, sebuah kampung nelayan yang tidak begitu jauh dari pantai Pasirbana dan Pantai Mempadi di pulau Poto.
“Untuk pengembangan pariwisata Pantai Mempadi dan Pasirbana di Pulau Poto desa Kelong kecamatan Bintan Pesisir, Kabupaten Bintan, kami masyarakat setempat yang notobene sembilan puluh persen lebih adalah nelayan,kami sangat mendukung adanya pariwistaa yang akan dikembangkan oleh pemilik lahan tersebut.
Sebagai nelayan di pesisir pulau poto yang mencari ikan dan ketam, kami nelayan Kp.Tenggel adalah nelayan bubu dan nelayan selam. Kedepan jika PT BAI akan mereklamasi pantai, otomatis wilayah kerja kami akan berkurang, hasil tangkapan berkurang, bagaimana usaha kelanjutan usaha kami. Kami seratus persen bergantung ke hasil laut,” urai La Nuvai yang mengaku tahu betul status kepemilikan lahan di Pulau Poto,
“Pantauan kami baik di Pantai Mempadi maupun Pasirbana, kepemilikannya lebih dulu dari perusahaan pada itu, karena saya selama 13 tahun jadi RT tahu betul status kepemilikan dua lahan tersebut,”
Senada dengan La Nuvai, Virginus menyoroti Amdal yang akan ditimbulkan oleh reklamasi pantai yang akan dilakukan PT GBKEK.
“Harapan kepada pemerintah supaya mendukung penuh kegiatan pariwisata, dipermudah urusannya jangan dipersulit, kalau pun terjadi (reklamasi) akan rusak semua lokasi disini,” ujarnya
Pihak Lain yang merasa dirugikan atas ijin PKKRL yang diterbitkan untk PT GBKEK yakni PT MMJ yang mengusai lahan di pulau Poto seluas lebih kurang 33,5 HA.
Agung selaku perwakilan dari PT MMJ mengaku heran, saat pihaknya akan mengurus PKKRL sebagai lanjutan atas ijin yang telah dimilikinya malah diminta untuk berkoordinasi dengan PT BAI (PT GBKEK)
“Perijinan yang sudah kami lakukan adalah ijin lokasi, lahan sertifikat HGB, ijin SPPL, selanjutnya kami akan mengurus IMB dan pemanfaatan ruang laut, namun belakangan setelah kami mengajukan ijin PKKRL ternyata kami terkendala, kami mendapati bahwa PT GB KEK (meskipun tidak ada ploting di lokasi kami) kami diminta untuk merapat atau menghadap ke mereka, meminta ijin kepada mereka, secara lahan ini adalah lahan kami, kami mengurus ijin dilahan kami, kami diminta untuk berkoordinasi dengan PT GBKEK yang telah memiliki ijin PKKRL pemanfaatan pulau kecil.
Sementara syarat pemanfaatan pulau-pulau kecil adalah harus diselesaikan urusan lahan,kami kekeberatan akan hal itu dan kami juga merasa terganggu karena proses perijinan kami jadi terkendala,” tutur Agung di Pantai Mempadi, Sabtu Siang (14/9/2024)
Agung juga menyebut pemerintah kurang begitu aktif untuk melihat dan meriview verivikasi lahan, apakah sudah dibebaskan atau belum.
“Terkesan amburadul karena syaratnya lahan tersebut harus Clean dan clear yang tertuang dalam peraturan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan juga tercantum dalam permennya,” kata Agung.
Terkait analisis dampak lingkungan yang terjadi apabila reklamasi yang dilakukan oleh PT GB KEK, Agung mengatakan pihaknya tidak pernah dilibatkan.
“PT GB KEK saat ini sedang mengurus AMDAL nya, Kami mendengar kabar sudah sampai di sidang ANDAL, harusnya kami sebagai pihak terdampak juga harus dilibatkan.
Dalam sidang publikasi di desa, kami sebagai pihak terdampak dan pemilik lahan yang masuk dalam siteplan PT GB KEK tidak pernah diajak, jangan-jangan ijinnya tiba-tiba keluar, kami merasa diabaikan dan terabaikan padahal kami pihak yang paling terdampak terhadap perencanaan industri yang akan dilakukan diatas lahan kami,”Urai Agung kesal. (dw)