TANJUNGPINANG | WARTA RAKYAT – Akademisi dan jurnalis di Tanjungpinang menggelar acara Diskusi Publik bertajuk “Dampak perubahan iklim terhadap pulau-pulau kecil di Kepulauan Riau”, Rabu (14/6/2023).
Berbagai kalangan aktivis, pemerhati lingkungan hingga mahasiswa ikut dalam diskusi tersebut.
Acara dibuka langsung oleh Rektor Universitas Raja Ali Haji (UMRAH) Agung Dhamar Syakti.
Dalam sambutannya Agung mengatakan, dampak perubahan iklim sudah berada di depan mata, apalagi dampaknya sangat dirasakan oleh Kepri yang seluruhnya merupakan pulau-pulau kecil.
“Jadi sangat rentan dampak perubahan iklim dan pemanasan global ini untuk daerah kita,” kata Agung.
Perubahan iklim kata Agung, yang paling jelas kita rasakan adalah adanya cuaca ekstrim dengan rentang waktu yang cukup lama.
“Ini harus menjadi perhatian bersama, terutama bagi mahasiswa sebagai agen perubahan,” kata Agung.
Diskusi publik mendatang dua narasumber sebagai pemantik diskusi, yaitu Wahyudin Pusat Penelitian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PPSPL UMRAH) dan Ridzki Rinanto Sigit Direktur Mongabay Indonesia.
Wahyudin memaparkan fakta bahwa perubahan iklim sering dipahami masyarakat tidak nyata, padahal berbagai ilmiah menyebutkan hal itu fakta.
“Setelah revolusi industri peningkatan temperatur dari tahun 1800 sampai 2020 hampir menuju 1,5 derajat celcius,” kata Wahyudin di depan puluhan peserta diskusi publik.
Wahyu mengatakan, dampak perubahan iklim saat ini yang amat dirasakan oleh masyarakat pesisir adalah kenaikan permukaan air laut, gelombang laut yang kuat sehingga menyebabkan abrasi dan beberapa hal lainnya.
Menurutnya, manusia harus beradaptasi dalam kondisi apapun, termasuk beradaptasi dengan dampak perubahan iklim.
Saat ini kata Wahyudin, pesisir di Kepri sudah mulai rusak, tidak hanya disebabkan oleh alam itu sendiri tetapi juga oleh manusia.
“Lihat saja mangrove di Kota Batam, nampak jelas hanya sedikit yang tersisa,” kata Wahyudin.
Padahal mangrove salah satu cara untuk mitigasi perubahan iklim, terutama menahan gelombang ombak yang kuat agar tidak terjadi abrasi.
Wahyudin juga menyampaikan kondisi karang yang ada di Kepulauan Riau yang 132 ribu hektar dalam kondisi sedang.
“Artinya perbanyak climate action seperti restorasi mangrove, karang, lamun dan ekosistem lainnya, tetapi tidak hanya menanam atau transpalasi, pastikan hidup atau tidak,” kata Wahyudin.
Begitu juga yang disampaikan Direktur Mongabay Indonesia Ridzki Rinanto Sigit dari perspektif media lingkungan.
Ridzki memaparkan, beberapa dampak perubahan iklim sudah dirasakan di berbagai daerah dari laporan jurnalis Mongabay Indonesia.
“Tidak hanya Kepri wilayah Indonesia lain juga terdampak, jadi ancaman perubahan iklim ini nyata,” katanya.
Salah satunya tenggelamnya Pulau Mensemut yang ada di Kepri. Saat ini informasi terakhir warga disana harus mengungsi akibat perubahan iklim ini.
Dampak perubahan iklim juga berdampak kepada kedaulatan negara. Ketika pulau-pulau kecil di Kepri yang berada di daerah perbatasan hilang, garis wilayah bangsa ini akan berkurang.
“Ini harus menjadi perhatian bersama,” kata Ridzki.
Ridzki melanjutkan, saat ini memang isu ini terutama perubahan iklim tidak banyak menjadi perhatian masyarakat, penyebabnya pengetahuan perubahan iklim masih minim, sumber daya akses yang terbatas, perilaku manusia.
Dalam sesi tanya jawab para peserta menyampaikan pentingnya tindakan nyata untuk menghadapi perubahan iklim ini. Mulai dari menanam pohon mangrove, membuang sampah pada tempatnya dan aksi nyata lainnya.
“Sebelum mengubah orang lain, ubah dulu diri kita sendiri,” kata Ridzki memberikan tanggapan.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Tanjungpinang Jailani mengatakan, diskusi publik ini diselenggarakan berkat kerjasama Mongabay Indonesia, AJI Tanjungpinang dan Umrah.
“Setiap diskusi publik tentu berguna untuk meningkatkan daya kritis kita semua,” kata Jai.
Selain Diskusi Publik, juga dilaksanakan penandatangan MoU antara UMRAH dan Mongabay Indonesia untuk saling bekerjasama dalam pengembangan pengetahuan isu lingkungan untuk publik.