Apa yang ada dalam benak anda ketika melihat Perhelatan Pernikakan Kaesang Pangarep (Putra Presiden Jokowidodo) dengan Erina Gundhono beberapa hari lalu? Penulis merasa ada kearifan budaya lokal yang sarat dengan nilai sakral yang luar biasa.
Memandikan mempelai dengan air tentu maknanya bukan sekedar agar mereka bersih, melainkan suatu simbol bahwa mereka harus bersih (meninggalkan hal-hal yang tidak baik), sehingga pada saat berumah tanggal akan betul-betul menjaga keharmonisan keluarga.
Demikian juga halnya ketika Pak Jokowi menggendong anaknya (Kaesang yang begitu besar) dengan susah payah, tentu juga sarat dengan nilai betapa setiap orang tua wajib mempersiapkan anaknya dengan baik sampai dia menikah.
Tentu juga dengan banyak ritual lain, yang mengandung nilai-nilai yang baik bagi kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat.
Penulis yang bukan suku Jawa pun bisa menikmati keragaman budaya tersebut dan menjadi semakin kaya dengan nilai-nilai kehidupan setalah melihat pertunjukan tersebut.
Sama halnya ketika baru-baru ini kita menyaksikan para suporter yang berasal dari Jepang dengan sukarela membersihkan sampah-sampah yang berserakan di salah satu stadion di Qatar dalam perhelatan World Cup 2022, dan dengan bangga mengatakan bahwa mereka merasa bersalah ketika meninggalkan stadion dalam keadaan kotor.
Budaya besih telah terinternalisasi dalam diri mereka sejak dini. Tentu saja ada banyak sekali contoh-contoh budaya lain yang sangat baik, sehingga wajib kita lestarikan.
Budaya adalah akar dari suatu masyarakat / bangsa, sehingga sangat menentukan bagi tumbuh atau tidaknya suatu masyarakat / bangsa tersebut.
Masyarakat yang maju biasanya tumbuh dari budaya yang memang mendukung bagi kemajuan mereka. Itulah mengapa ada suku-suku yang menonjol dibidang tertentu, misalnya ada suku yang pintar berdagang, bertani dan lain-lain.
Masalahnya sekaligus menjadi tantangan bagi kita adalah bahwa tidak semua budaya bernilai positif untuk mendukung kemajuan.
Ada suku di nusantara ini yang mewajibkan pemberian mahar yang sangat besar kepada mempelai wanita, sehingga dapat mengakibatkan sang mempelai lelaki menjadi jatuh miskin setelah menikah.
Kalau didaerah penulis sendiri (Suku Simalungun, Sumatera Utara), ada begitu banyak peristiwa adat yang terjadi sehari-hari (menikah, meninggal, memasuki rumah, memindahkan tulang belulang leluhur dll), yang wajib dihadiri oleh setiap warga, dan jika tidak hadir dianggap tidak ber-adat, sehingga menjadi terkucil.
Akibatnya masyarakat Simalungun sangat banyak menghabiskan waktu untuk acara adat, dari pada mengerjakan pekerjaannya di ladang. Tentu masih banyak contoh adat lain, sungguhpun banyak juga contoh adat yang bersifat baik (positif), seperti tolong menolong, keperdulian, toleransi dan sebagainya.
Perayaan budaya oleh mayarakat adat menjadi salah satu cara untuk memelihara keberlangsungan budaya. Namun karena sifatnya turun-temurun dan dianggap sudah sakral, maka budaya yang bersifat negatif pun akan terus terpelihara.
Dibutuhkan peranan pemerintah untuk melaksanakan acara-acara adat budaya yang sifatnya besar (satu daerah yang terdiri dari puluhan atau lebih masyarakat adat), sehingga keberlangsungan budaya akan terus terjaga.
Pada saat yang sama pemerintah pun dituntut untuk bekerjasama dengan para pemangku adat lokal guna menghidupkan budaya-budaya positif, yang mendukung kemajuan bangsa.
Perkawinan budaya (akulturasi) bukanlah suatu yanng tabu, sehingga budaya-budaya yang baik (positif) bisa dikembangkan dan yang tidak baik bisa pelan-pelan ditinggalkan.
Kita sangat berharap bangsa kita yang besar ini suatu saat mempunyai karakter budaya yang sangat kuat, sehingga bisa memancarkan aura positif yang bisa dilihat orang luar.
Sikap toleransi, kerja keras, kedisiplinan, tolong menolong, kebersihan dan budaya baik lainnya harus dipupayakan agar terinternalisasi (menjadi gaya hidup) bagi setiap induvidu.
Jika Bali sudah terkenal dengan Ukiran dan gaya bangunannya, maka Jawa akan terkenal dengan kelemah – lembutan dan keramah-tamahannya.
Batak akan terkenal dengan tenun dan suaranya yang merdu, demikian juga dengan daerah lain dengan keunggulannya masing-masing.
Kita harus berupaya memunculkan karakter budaya yang terinternalisasi, setidaknya sama seperti orang Jepang yang membersihkan sampah-sampah yang berserakan, sekalipun bukan menjadi kewajibannya. Semoga saja.
Penulis : Ria Ukur Rindu Tondang, S.E., M.Ak