Nelayan Keluhkan Mahalnya BBM, Wahyu Dorong Solar Non Subsidi Satu Harga

Ketua Komisi II DPRD Kepri, Wahyu Wahyudin saat dalam rapat paripurna

BATAM | WARTA RAKYAT  Ketua Komisi II DPRD Kepulauan Riau, Wahyu Wahyudin mendesak pemerintah menetapkan harga BBM solar non subsidi satu harga di Kepri.

Ia mengusulkan agar harga solar dexlite yang saat ini Rp15.700 per liter diturunkan menjadi Rp9.000 per liter.

“Pemerintah harus memihak kepada nelayan dan pelaku UKM nelayan yang ada di Kepri mengingat Kepri 96 persen lautan, pemerintah wajib membantu masyarakat Kepri dengan BBM satu harga,” katanya, Minggu (31/7/2022).

Wahyu menegaskan, jika pemerintah enggan menurunkan harga BBM non subsidi, pemerintah harus menambah kuota solar subsidi untuk Kepri. Ia menerangkan, kuota solar subsidi saat ini masih belum memenuhi kebutuhan nelayan.

“Kalau nggak dibantu maka banyak nelayan Kepri yang tidak melaut, akhirnya nelayan-nelayan luar seperti Thailand, Vietnam, cina yang melaut. Hasil Ikan dibawa ke negara mereka, maka harga ikan di Kepri dan daerah lain akan tinggi,” ujarnya.

Anggota Fraksi PKS itu juga mengusulkan agar Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI menunda penerapan penangkapan terukur.

Permintaan ini menyusul menurunnya stok ikan di perairan Natuna yang juga Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 711.

“Karena belum bisa dilaksanakan, maka penangkapan terukur harus di batalkan atau ditunda,” pintanya.

Sebelumnya, Wakil Ketua HNSI Kepulauan Riau, Eko Fitriandi mengungkapkan faktor penyebab kenaikan harga ikan tongkol, benggol, selar, dan tenggiri belakangan ini.

Eko menyebut, kenaikan harga disebabkan menurunnya stok ikan di perairan Natuna dan Anambas, ikan hanya ditemui di atas 12 mil menggunakan kapal di atas 30 GT.

Diketahui, kapal di atas 30 GT tidak termasuk pengguna solar subsidi, kenaikan harga dexlite pun menyebabkan membengkak nya biaya operasional.

Mau tidak mau, nelayan terpaksa menaikkan harga ikan, meskipun dengan konsekuensi akan mengurangi volume penjualan.

“Kalau ikan tongkol dilempar Rp20 ribu per kilo ke pasar, pasti nggak nutup produksinya, mau nggak mau harus Rp50 ribu per kilo,” ujarnya.

Eko mengusulkan agar pemerintah menerapkan solar non subsidi satu harga dan merevisi Permen KP 18 Tahun 2021 menyusul menipisnya stok ikan di perairan Natuna dan Anambas.

Revisi Permen KP akan memudahkan kapal di atas 30 GT untuk mengkonsumsi solar subsidi menangkap ikan di atas 12 mil dengan leluasa.

Kebijakan ini akan ampuh menekan biaya produksi sehingga harga ikan di pasar akan kembali normal.

“Kita minta zona tangkap terukur direvisi, karena takutnya nelayan kita kalah saing, pengawasan kita masih sangat lemah, siapa yang bisa mengetahui mereka akan bermain di bawah 12 mil,” tambahnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.